August 29, 2010

Obsesi Ramadhan



Menjelang akhir Ramadhan, seharusnya kaum muslimin meninggalkan kehidupan dunia, seperti yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam, dan waktunya hanya digunakan beribadah dan bertaqarrub kepada Azza wa Jalla. Tidak lagi disibukkan memikirkan tentang dunia, yang tidak memiliki arti apa-apa dihadapan Allah Ta’ala. Mengejar maghfirah-Nya.

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS, Al-Imran : 133).

Betapa Allah Azza wa Jalla telah memberikan balasan (jaza') yang tak terhitung nilainya, bagi siapa saja yang dengan tulus-ikhlas, beribadah dan memohon ampunan dari Rabbnya, dan akan mendapatkan balasan berupa surga, yang luasnya seluas langit dan bumi, khususnya bagi mereka yang bertaqwa. Seharusnya kaum muslimin berusaha semakin setulus-tulusnya untuk mendapatkan maghfirah (ampunan) dari Rabbul Alamin, dan menjadi orang-orang yang muttaqin (bertakwa) dengan ganjaran, yang digambarkan berupa surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Karena di akhir Ramadhan ada saat 'Lailatur Qadr', di mana Allah Rabbul Alamin akan memberikan ampunan bagi hamba yang bertaqwa.

Bandingkan dengan usaha-usaha manusia yang terobsesi dengan materi dan kenikmatan dunia, dan menghabiskan waktunya hanya untuk mengejar dunia? Berapa materi yang didapatkan oleh manusia selama ia hidup dan bekerja di dunia itu? Bandingkan dengan jaminan dan balasan dari Allah Azza Wa Jalla yang melebihi apa yang didapatkan manusia di dunia. Tidak ada artinya dibandingkan dengan semua yang akan diberikan Allah itu, dibandingkan dengan yang diperoleh manusia.

Manusi hanyalah produktif dan dapat menikmati kehidupannya sebatas umur 50 tahun, sesudah itu, kondisi fisik manusia sudah tidak efektif untuk dapat menikmati kehidupan dunia. Semua yang didapatkan di dunia akan ditinggalkannya. Isteri, anak keturunan, rumah, kendaraan, dan segala harta benda, semuanya akan ditinggalkan. Manusia akan mati.

Manusia hanya akan menempati tempat yang sangat sempit yang bernama alam kubur, yang luasnya tidak lebih dari 1 X 2 yang bersifat kekal. Sebaliknya, kehidupan akhirat akan kekal selamanya. Betapa bahagianya bagi mereka yang mendapatkan kemuliaan di sisi-Nya, dan ditempatkan surga-Nya?

“Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal”. (QS, Al-Imram : 136). 

Tradisi muslim di Indonesia sangat paradok dengan ajaran Islam. Menjelang akhir Ramadhan mereka bukan lagi justru meningkatkan ibadahnya. Tetapi, yang terus membayangi dalam benak mereka adalah jenis pakaian apa yang akan dipakai saat lebaran (Idul Fitri) nanti? Atau jenis makanan apa yang akan disiapkan menghadapi lebaran (Idul Fitri) nanti? Atau jenis kendaraan (mobil) yang akan digunakan berkunjung dan silaturrahim ke keluarga, sanak-famili dan handai taulan, serta para kerabat dan kolega? Seakan setiap lebaran menjadi parade ‘pamer’ kemewahan, bukan lagi menjadi saat untuk pamer ‘ketaqwaan’ dihadapan sesama muslim.

Karena itu, yang paling sibuk saat menjelang akhir Ramadhan adalah kantor-kantor, pasar, mall, plaza, yang menjadi menu utama pembicaraan hanyalah persiapan menjelang lebaran. Semuanya berkaitan dengan kehidupan duniawi, yang tidak mempunyai relasi dengan kehidupan akhirat. Tidak memiliki relasi dengan tingkat ketaqwaan seseorang dihadapan Allah Azza Wa Jalla. Karena itu, tak heran, kehidupan kaum muslimin semakin carut-marut, hina, tidak memiliki kemuliaan (izzah) dihadapan musuh-musuhnya. Karena, hakekatnya di dalam dada dan sanubari mereka telah tertanam dalam-dalam budaya materialisme, dan bahkan mereka sudah menyembah materi, serta menjadikan materi sebagai sesembahan mereka.

Materi sudah menjadi ‘tuhan-tuhan’ kecil, yang menguasai seluruh hidupnya. Maka tak heran mereka untuk memenuhi kehidupan duniawinya, tak segan-segan mengikuti bisikan syetan, dan berbuat maksiat melanggar semua aturan dan ketentuan Allah Rabbul alamin, dan tidak mau tunduk dan patuh, karena mereka sudah terjerumus kedalam kehidupan materialisme itu.

Sumber: Yusuf Mansur Network on Facebook

Dua Sumber Bencana Kehidupan



Setiap hari kita disuguhkan berbagai macam informasi atau berita mengenai kekerasan: suami membunuh istri, istri menganiaya anak, anak memukuli orang tua, tawuran antar kampung, konflik berdarah dalam pilkadal, anggota gangster melakukan kebrutalan terhadap warga, pelajar putri SMP melakukan aborsi, penipuan, korupsi, ancaman bom, selebriti selingkuh, dan lain-lain. Semuanya itu menjadi sampah pemikiran yang terus menerus mengisi pikiran kita setiap pagi, siang, sore, dan malam. Kita bangun tidur dengan jiwa yang gelisah dan tidur dengan hati yang letih. Begitu setiap hari. Kejahatan melakukan regenerasi dan kaderisasi setiap detik. Negeri ini dipenuhi oleh aroma hati yang membusuk dan pikiran kriminil. Kebathilan mendominasi atmosfir opini tanah air tercinta.

Apabila kemudian terjadi segala macam bencana, maka rasanya kehadiran "tamu" tersebut adalah wajar belaka. Allah SWT berfirman dalam surat Ar Rum ayat 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagaian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Jika ditilik lebih mendalam lagi, pada hakikatnya penyebab semua malapetaka dunia ini (setidaknya) ada dua, yaitu Kebodohan dan Kesombongan. Semua ragam kejahatan, kenistaan, keburukan, dan malapetaka bersumber dari dua hal tersebut.

Sumber pertama adalah kebodohan. Kebodohan yang dimaksud adalah keterasingan dari wawasan wahyu suci. Hati dan fikirannya jauh dari pemahaman terhadap petunjuk Allah SWT dan RasulNya. Sehingga semua tindakan, ucapan, tulisan, kebijakan, dan hasil pemikirannya tidak memiliki dasar referensi dan bingkai Islami yang rahmatan lil 'alamin. Segala yang berasal dari dirinya tidak dimaksudkan dan tidak dalam kerangka pengabdian kepada Allah SWT. Lebih semata-mata karena kemauan hawa nafsunya.

Ketiadaan wawasan ini akan mengakibatkan manusia tidak lagi mengindahkan kaidah halal - haram dan juga kaidah manfaat-mafsadat dalam berfikir dan bertindak. Apapun yang diinginkannya dan yang muncul di fikirannya akan (bahkan harus) diwujudkan. Seringkali tidak memperdulikan ekses yang (mungkin) timbul dari hal tersebut (baik positif maupun negatif). Maka kita bisa saksikan parade pertunjukan malapetaka itu: korupsi yang dianggap halal dan lumrah, kebijakan pemerintah yang kontra rakyat dan lingkungan hidup, pembunuhan, perselingkuhan, skandal, pornografi dan pornoaksi di media cetak dan elektronik, kampanye dan sosialisasi budaya permissive, tayangan sinetron yang amoral, kerusuhan sara, pertikaian berdarah dalam ajang pilkadal, dan sebagainya. Rakyat diajak untuk menjadi bodoh. Kurikulum pendidikanpun lebih cenderung ke arah menghasilkan robot-robot untuk memenuhi kebutuhan industri kapitalis. Itupun masih ditambah dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Bayangkan, bahkan untuk menjadi robot miskin nurani pun harus mengeluarkan biaya tinggi. Sungguh dahsyat tayangan peradaban bar-bar ini.

Akibat kebodohan ini yang terus menerus diperdengarkan dan dipertontonkan, maka perlahan tapi pasti akan terbentuk suatu iklim kebodohan massal. Tercipta sebuah masyarakat yang bodoh. Kalaupun ada pihak-pihak yang sadar akan hal ini, sebahagian besar mereka hanya diam saja dan bersikap apatis. Hanya sedikit dari mereka yang berjuang sepenuh hati untuk memerangi kebudayaan bodoh ini.

Bila iklim kebodohan ini dibiarkan terus, maka ummat semakin asing dari firman Allah SWT dan sunnah RasulNya. Maka adzab Allah SWT tiba dan menimpa siapapun juga. Allah SWT berfirman dalam surat Al Anfaal ayat 25, "Takutlah kalian kepada fitnah/bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim di antara kalian". Kebodohan berujung pada bencana.

Sumber kedua adalah kesombongan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Iblis adalah pionir sifat sombong ini. Dia merasa lebih mulia dari Adam 'alaihissalaam, karena dia diciptakan dari api, sedangkan Adam 'alaihissalaam diciptakan dari tanah. Karena perasaan itulah Iblis menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Adam 'alaihissalaam. Menolak perintah Allah SWT adalah sebuah bentuk penolakan terhadap kebenaran, karena Allah SWT adalah Maha Benar dan sumber kebenaran mutlak satu-satunya. Iblis merasa lebih hebat dan lebih mulia, padahal tidak ada yang lebih hebat dan lebih mulia kecuali Allah SWT.

Manusia yang sombong adalah manusia yang meneladani Iblis. Manusia sombong merasa dirinya lebih hebat. Merasa memiliki kemampuan diri sendiri untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Senantiasa mengklaim setiap pencapaian prestasinya, keberhasilannya, kekayaannya, dan kekuasaannya adalah berasal dari kerja keras otak dan ototnya semata. Mata hatinya tertutup oleh rasa takjub atas apa yang telah dihasilkan oleh dirinya sendiri berupa pikiran dan perbuatan, sehingga lupa bahwa Allah SWT-lah yang mendatangkan segala kemanisan, kesuksesan, kecemerlangan, kekayaan, dan juga kekuasaannya.

Seperti Qarun yang kaya raya tapi lupa kepada Allah SWT dengan mengklaim bahwa kekayaannya itu bersumber dari hasil kecerdasan dan kerja kerasnya semata. Tidak ada rasa syukur. Pada akhirnya Allah SWT menurunkan adzab kepada Qarun: bumi menelan Qarun beserta seluruh harta benda kebanggaannya itu.

Manusia memang sudah Allah berikan akal fikiran dan sudah pula dihamparkan alam semesta untuk diolah. Tapi pengolahan ini semata-mata sebagai bentuk pengabdian. Allah SWT berfirman dalam surat Adz Dzariyat ayat 56, "Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku". Pengolahan alam semesta dengan bekal karunia Allah SWT pada diri manusia adalah sebuah batu loncatan untuk mencapai ridho dan rahmat Allah SWT. Bukan untuk fokus ke pengolahan itu sendiri.

Namun manusia sombong memiliki karakteristik pandangannya sendiri. Karunia Allah SWT yang hebat itu justru dipergunakan untuk mengolah alam bagi kejayaan pribadi dan diakui sebagai hasil upaya pribadi. Bukan untuk mengabdi kepada Allah SWT. Karena melihat kesuksesan demi kesuksesan yang diraih dengan optimalisasi potensi dirinya (yang merupakan karunia Allah SWT) dalam mengolah alam, maka hawa nafsu semakin berperan dalam mengendalikan diri manusia sombong. Tidak ada kata puas dalam meraih segala macam bentuk kenikmatan yang ditawarkan dunia. Benarlah sabda Rasulullah SAW, "Jika manusia diberi emas setinggi gunung uhud, maka dia akan menginginkan lebih lagi".

Maka terjadilah persaingan dalam merebut sumber-sumber kenikmatan duniawi. Saling berlomba (munafasah, bukan musabaqoh) dalam menguasai harta dan tahta. Segala macam cara ditempuh untuk meraihnya. Maka kita saksikan kembali parade pertunjukan malapetaka: semburan lumpur lapindo, tanah longsor akibat pembalakan liar, banjir, kebakaran hutan, kerusuhan sosial berdarah akibat pertarungan perebutan kekuasaan secara tidak fair, kongkalikong pengusaha dan penguasa yang merugikan rakyat, peperangan, dan sebagainya.

Kemanusiaan dinomorduakan. Hawa nafsu diutamakan. Syariat Allah SWT diinjak-injak dan dihinakan, sementara aturan carut-marut yang menindas harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi. Sejumlah alasan dipergunakan untuk pembenaran aksi-aksi kesombongan ini: demokrasi, toleransi, liberalisme, pluralisme, dan hak asasi manusia. Kesombongan berujung pada bencana.

Semua upaya untuk memerangi segala macam petaka itu harus dimulai dari pemberantasan akar masalahnya. Berantas kebodohan dan kesombongan. Secara sederhana dan garis besar, obat dari kebodohan adalah belajar, sedangkan obat kesombongan adalah dzikrul maut. Hal ini disadari masih memerlukan penjabaran yang lebih detail dan teliti. Tentunya setiap perjuangan memerlukan tahapannya sendiri yang harus dirumuskan dengan seksama dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dalam suasana ukhuwah Islamiyah. Setidaknya kita bisa memulainya dari diri kita sendiri.

Wallahu a'lam bisshowab.

Oleh Tomy Saleh / Vandi Muhammad
Pengajian Online Daarul Ilmi-Kebon Nanas
Jaktim

Kelebihan Surat Al-Ikhlas


Entah alasan karena pendeknya ayat ini entah apa, dari zamannya baru belajar ngaji di masa kanak-kanak dahulu hingga sekarang saya sangat suka mendengar alunan ayat Al-Qur'an ini hingga beberapa waktu yang lalu mendengarkan suatu kuliah yang menyatakan beberapa makna dan fadillah surat ini.

Nah, sekarang mari kita simak beberapa hal tentang surat pendek yang dahsyat ini.

“Au zubillah himinashsyaitan nirrajiim…bismillahirrahmannirrahiim”

Bacalah ayat ini sebelum anda memulai apa-apa saja karena dengan
bacaan ini akan keluarlah iblis dan syaitan yang berada didalam tubuh kita
dan juga di sekeliling kita, mereka akan berlari keluar seperti cacing kepanasan.

Sebelum anda masuk rumah, bacalah ayat di atas, kemudian bacalah surah
Al-Ikhlas sebanyak 3 kali. Masuklah rumah dengan kaki kanan dan dengan
membaca bismillah. Berilah salam kepada anggota rumah dan seandainya tidak
orang di rumah berilah salam karena malaikat rumah akan menyahut.

Amalkanlah bersholat karena salam pertama yang diucapkan pada akhir sholat
akan membantu kita menjawab persoalan kubur. Apabila malaikat memberi salam, seorang yang jarang bersholat akan sukar menjawab salam tersebut. Tetapi bagi mereka yang kerap bersholat, amalan dari pada salam yang diucap di akhir solat akan menolongnya menjawab salam malaikat itu.

Sabda Rasulullah S.A.W yang artinya:
“Barangsiapa membaca surah Al-Ikhlas sewaktu sakit sehingga dia meninggal
dunia, maka dia tidak akan membusuk di dalam kuburnya, akan selamat dia dari
kesempitan kuburnya dan para malaikat akan membawanya dengan sayap mereka
melintasi titian siratul mustaqim lalu menuju ke syurga”.
(Demikian diterangkan dalam Tadzikaratul Qurthuby).

Rasulullah SAW pernah bertanya sebuah teka-teki kepada umatnya “Siapakah
antara kamu yang dapat khatam Qur’an dalam jangka masa dua-tiga minit?” Tidak ada seorang dari sahabatnya yang menjawab. Malah Saiyidina Ummar telah
mengatakan bahawa mustahil untuk mengkhatamkan Qur’an dalam begitu cepat.
Kemudiann Saiyyidina Ali mengangkat tangannya. Saiyidina Ummar bersuara
kepada Saiyidina Ali bahawa Saiyidina Ali (yang sedang kecil pada waktu itu)
tidak tahu apa yang dikatakannya itu. Lantas Saiyidina Ali membaca surah
Al-Ikhlas tiga kali. Rasulullah SAW menjawab dengan mengatakan bahawa
Saiyidina Ali betul . Membaca surah Al-Ikhlas sekali ganjarannya sama dengan
membaca 10 jus kitab Al-Quran. Lalu dengan membaca surah Al-Ikhlas sebanyak
tiga kali qatamlah Quran kerana hal itu sama dengan membaca 30 jus Al-Quran.

Berkata Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Ketika saya
(Rasulullah SAW) israk ke langit, maka saya telah melihat Arasy di atas
360,000 sendi dan jarak jauh antara satu sendi ke satu sendi ialah 300,000
tahun perjalanan. Pada tiap-tiap sendi itu terdapat padang sahara sebanyak
12,000 dan luasnya setiap satu padang sahara itu seluas dari timur hingga ke
barat. Pada setiap padang sahara itu terdapat 80,000 malaikat yang mana
kesemuanya membaca surah Al-Ikhlas. Setelah mereka selesai membaca surah
tersebut maka berkata mereka: Wahai Tuhan kami,sesungguhnya pahala dari
bacaan kami ini kami berikan kepada orang yang membaca surah Al-Ikhlas (baik
ia laki-laki maupun perempuan)”.

Sabda Rasulullah SAW lagi:
“Demi Allah yang jiwaku ditanganNya, sesungguhnya Qul Huwallahu Ahadu itu
tertulis di sayap malaikat Jibrail a.s, Allahhus Somad itu tertulis di sayap
malaikat Mikail a.s, Lamyalid walam yuulad tertulis pada sayap malaikat
Izrail a.s, Walam yakullahu kufuwan ahadu tertulis pada sayap malaikat
Israfil a.s.”

NB:
Seandainya kawan-kawan ingin mengumpulkan saham akhirat, sampaikanlah ilmu
ini kepada kawan-kawan yang lain. Seperti sabda Rasulullah SAW ‘Sampaikanlah
pesananku walaupun satu ayat‘.

Sesungguhnya apabila matinya seseorang anak Adam itu, hanya 3 perkara yang akan dibawanya bersama :
1) Sedekah/amal jariahnya
2) Doa anak-anaknya yang soleh
3) Ilmu yang bermanfaat yang disampaikannya kepada orang lain.

Sumber:

Heri Noto@Blog: Manusia Biasa

Memaknai Bulan Ramadhan



Setiap waktu yang diberikan oleh Allah itu adalah anugerah tetapi Allah juga memberikan satu bulan 'bonus' bagi para hamba-Nya untuk lebih dapat menempa diri agar menjadi insan yang lebih baik lagi bagi hamba-Nya yang berhasil dalam satu bulan 'penempaan'.

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana seluruh umat muslim diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam firman-Nya pada Surat Al-Baqarah/183; "Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu Kutiba 'Alaikumush-Shiyamu Kama Kutiba 'Alal-Ladzina Min Qablikum La'allakum Tattaqun" -- ''Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.''

Bulan Ramadhan adalah sebuah momentum mengevaluasi diri dimana setiap muslim perlu melakukan kajian kritis, mengenai posisi diri atau kondisi diri, kualitas diri, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Sang Khalik.

Aktivitas puasa selama bulan Ramadhan juga dapat melatih kita untuk mendidik jiwa. Menurut Al-Muhasibi, jika seseorang tahu bahwa tidak bisa maksimal untuk mendidik jiwanya, maka hendaknya dia mulai memberikan sentuhan rasa lapar. Ketika merasa lapar itulah jiwa seseorang biasanya mulai tunduk dan patuh, sehingga seseorang mulai bisa mencela jiwanya sendiri dan mengingatkannya pada adzab Allah dan tempat kembalinya kelak di sisi Allah.

Namun, adalah sebuah kerugian besar, bila bulan Ramadhan yang segera kita tinggalkan ini hanya terlewatkan sebagai bulan menahan lapar dan haus semata sebagaimana sabda Rasulullah: "Kam Min Sha-im, Wa Laisa Lahu Illal-'Athasy Wal-Ju' --- "Banyak orang yang melakukan puasa, tapi tidak ada hasil apa pun kecuali, hanya haus dan lapar".

Puasa merupakan perisai dari panasnya api neraka, juga perisai dari hawa nafsu yang membelenggu. Selain itu puasa juga mempunyai keutamaan yang tidak ada dalam ibadah yang lain, yaitu pengaitannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah berfirman dalam hadits qudsy,

“Puasa itu bagi-Ku dan Aku memberi balasan dengannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Kelebihan puasa bisa dilihat dalam dua makna berikut:

1. Puasa termasuk amal yang tersembunyi dan amal batin yang tidak bisa dilihat orang lain, sehingga tidak mudah disusupi riya’.

2. Sebagai cara untuk menundukkan syahwat. Syahwat bisa menjadi kuat karena makanan dan minuman. Selagi lahan syahwat tetap subur, maka syetan bisa berkeliaran di tempat gembalaan yang subur itu. Tapi jika syahwat ditinggalkan, maka jalan ke sana juga menjadi sempit.

Agar puasa Ramadhan tidak kehilangan makna, maka kita juga harus mengisinya dengan amalan-amalan ibadah lainnya, diantaranya adalah shalat tarawih berjamaah, bersedekah, dan membaca Al-Qur’an. Shalat tarawih berjamaah merupakan amalan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah, hanya saja beliau tidak terus menerus melaksanakannya secara berjamaah, karena khawatir akan dianggap sebagai sebuah kewajiban. Tradisi shalat tarawih berjamaah dihidupkan lagi oleh Khalifah Umar Ibnu Khattab.

Beberapa kecenderungan yang kurang tepat dalam mengisi bulan Ramadhan;

1. Adalah hal yang bagus bagi kita untuk bergembira menyambut bulan yang mulia ini. Biasanya, kita begitu bergairah datang ke mesjid untuk melakukan ibadah tarawih yang sayangnya,umumnya, hanya terjadi di sepuluh hari yang pertama saja.

2. Saat berbuka puasa, banyak orang yang begitu bermewah-mewah menghadirkan penganan untuk berbuka sehingga menjadi konsumtif dan tentu saja menjadi hal yang berlawanan dengan apa yang diajarkan puasa yaitu untuk menahan hawa nafsu.

3. Pada paruh kedua bulan Ramadhan, biasanya banyak orang yang lebih memikirkan untuk dapat tampil baru dan gaya sebagai perayaan hari kemenangan pada 1 Syawal, yaitu yang sering kita sebut sebagai hari Lebaran sehingga terjebak pada pola konsumtif yang sangat ironis dengan perintah puasa dan tentu saja hal demikian adalah suatu yang berlebihan dan jauh dari kesederhanaan yang dianjurkan. Memang bagus untuk tampil serba baru di hari nan fitri tetapi tampil baru di sini sebenarnya bukan pada penampilan fisik tetapi lebih pada penampilan rohani.

4. Silaturahmi bukan sebagai ajang pamer. Silaturahmi dan saling bermaaf-maafan dengan keluarga dan handai taulan di hari Idul Fitri tentu saja sangat dianjurkan tetapi banyak orang yang untuk melakukannya sampai harus jor-joran dan memaksakan diri. Makna lebaran menjadi sangat terdegradasi karena masih sangat berpikir duniawi dan materialistik yang sekali lagi kontraproduktif dengan hakikat Ramadhan. Banyak dari kita berupaya untuk tampil bermewah-mewahan sehingga akan dapat menyulut kecemburuan sosial.

Petuah Buya HAMKA



Buya Hamka dikenal tidak saja sebagai seorang ulama besar tetapi juga sebagai seorang sastrawan. Karya- karya beliau di bidang sastra antara lain adalah "Tenggelamnya kapal Vander Wijk" dan Tassawuf Modern.

Sementara itu, karya fenomenal beliau adalah tafsir Al-Azhar yang dikerjakan saat beliau berada dalam tahanan politik presiden Soekarno, yang beberapa tahun kemudian jenazahnya diimamkan beliau. Sungguh sosok buya Hamka adalah salah seorang yang patut diteladani. Tidak ada dendam karena semua tindakan semata-mata hanya karena Allah saja.

Kerasnya ujian yang dihadapi beliau dalam menegakkan kebenaran yang diyakininya bukan berarti menjadi penghalang bagi beliau untuk tetap berkarya dan berprestasi yang terefleksikan pada salah satu karya beliau berupa petuah berikut ini:

Tahan menderita kepahitan hidup sehingga penderitaan menjadi kekayaan adalah bahagia.

Kenal akan keindahan dan sanggup menyatakan keindahan itu kepada orang lain adalah bahagia.

Sewaktu kecil anak-anak lelaki menjadi perhiasan mata karena lucunya, karena dia tumpuan harapan, maka setelah dia besar, dia menjadi kebanggaan karena kejayaan hidupnya.


Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak kecil, senyum yang sebenarnya senyum,senyum yang tidak disertai apa-apa.

Kegunaan harta tidak dimungkiri - Tetapi ingatlah yang lebih tinggi ialah cita-cita yang mulia

Adil ialah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar,
mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di atasnya.

Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian

Yang benar tetap benar, yang salah tetap salah. Kaya dan miskin dihadapan keadilan adalah sama.

Berkisar dan berpaling dari keadilan kerana dorongan hawa nafsu hanyalah mempersulitkan diri sendiri.

Kata - kata yang lemah dan beradab dapat melembutkan hati dan manusia yang keras.

Hawa nafsu membawa kesesatan dan tidak berpedoman dan akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Hawa nafsu menyuruh mengelamun, berangan-angan, tetapi akal menyuruh menimbang.

Tidak semua orang yang menolak kebenaran itu tidak tahu bahwa yang ditolakkanya itu benar.

Tiga rukun yang benar dan perlu dalam mencapai utama yaitu dengan tabiat, dengan pengalaman dan dengan pelajaran.

Adapun musuh yang sentiasa menghalangi manusia mencapai keutamaan ialah hawa - nafsu yang menyebabkan marah dan dengki.

Sumber: Dunia Sastra Indonesia