August 29, 2010

Memaknai Bulan Ramadhan



Setiap waktu yang diberikan oleh Allah itu adalah anugerah tetapi Allah juga memberikan satu bulan 'bonus' bagi para hamba-Nya untuk lebih dapat menempa diri agar menjadi insan yang lebih baik lagi bagi hamba-Nya yang berhasil dalam satu bulan 'penempaan'.

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana seluruh umat muslim diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam firman-Nya pada Surat Al-Baqarah/183; "Ya Ayyuhal-Ladzina Amanu Kutiba 'Alaikumush-Shiyamu Kama Kutiba 'Alal-Ladzina Min Qablikum La'allakum Tattaqun" -- ''Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.''

Bulan Ramadhan adalah sebuah momentum mengevaluasi diri dimana setiap muslim perlu melakukan kajian kritis, mengenai posisi diri atau kondisi diri, kualitas diri, baik dihadapan manusia maupun dihadapan Sang Khalik.

Aktivitas puasa selama bulan Ramadhan juga dapat melatih kita untuk mendidik jiwa. Menurut Al-Muhasibi, jika seseorang tahu bahwa tidak bisa maksimal untuk mendidik jiwanya, maka hendaknya dia mulai memberikan sentuhan rasa lapar. Ketika merasa lapar itulah jiwa seseorang biasanya mulai tunduk dan patuh, sehingga seseorang mulai bisa mencela jiwanya sendiri dan mengingatkannya pada adzab Allah dan tempat kembalinya kelak di sisi Allah.

Namun, adalah sebuah kerugian besar, bila bulan Ramadhan yang segera kita tinggalkan ini hanya terlewatkan sebagai bulan menahan lapar dan haus semata sebagaimana sabda Rasulullah: "Kam Min Sha-im, Wa Laisa Lahu Illal-'Athasy Wal-Ju' --- "Banyak orang yang melakukan puasa, tapi tidak ada hasil apa pun kecuali, hanya haus dan lapar".

Puasa merupakan perisai dari panasnya api neraka, juga perisai dari hawa nafsu yang membelenggu. Selain itu puasa juga mempunyai keutamaan yang tidak ada dalam ibadah yang lain, yaitu pengaitannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah berfirman dalam hadits qudsy,

“Puasa itu bagi-Ku dan Aku memberi balasan dengannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Kelebihan puasa bisa dilihat dalam dua makna berikut:

1. Puasa termasuk amal yang tersembunyi dan amal batin yang tidak bisa dilihat orang lain, sehingga tidak mudah disusupi riya’.

2. Sebagai cara untuk menundukkan syahwat. Syahwat bisa menjadi kuat karena makanan dan minuman. Selagi lahan syahwat tetap subur, maka syetan bisa berkeliaran di tempat gembalaan yang subur itu. Tapi jika syahwat ditinggalkan, maka jalan ke sana juga menjadi sempit.

Agar puasa Ramadhan tidak kehilangan makna, maka kita juga harus mengisinya dengan amalan-amalan ibadah lainnya, diantaranya adalah shalat tarawih berjamaah, bersedekah, dan membaca Al-Qur’an. Shalat tarawih berjamaah merupakan amalan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah, hanya saja beliau tidak terus menerus melaksanakannya secara berjamaah, karena khawatir akan dianggap sebagai sebuah kewajiban. Tradisi shalat tarawih berjamaah dihidupkan lagi oleh Khalifah Umar Ibnu Khattab.

Beberapa kecenderungan yang kurang tepat dalam mengisi bulan Ramadhan;

1. Adalah hal yang bagus bagi kita untuk bergembira menyambut bulan yang mulia ini. Biasanya, kita begitu bergairah datang ke mesjid untuk melakukan ibadah tarawih yang sayangnya,umumnya, hanya terjadi di sepuluh hari yang pertama saja.

2. Saat berbuka puasa, banyak orang yang begitu bermewah-mewah menghadirkan penganan untuk berbuka sehingga menjadi konsumtif dan tentu saja menjadi hal yang berlawanan dengan apa yang diajarkan puasa yaitu untuk menahan hawa nafsu.

3. Pada paruh kedua bulan Ramadhan, biasanya banyak orang yang lebih memikirkan untuk dapat tampil baru dan gaya sebagai perayaan hari kemenangan pada 1 Syawal, yaitu yang sering kita sebut sebagai hari Lebaran sehingga terjebak pada pola konsumtif yang sangat ironis dengan perintah puasa dan tentu saja hal demikian adalah suatu yang berlebihan dan jauh dari kesederhanaan yang dianjurkan. Memang bagus untuk tampil serba baru di hari nan fitri tetapi tampil baru di sini sebenarnya bukan pada penampilan fisik tetapi lebih pada penampilan rohani.

4. Silaturahmi bukan sebagai ajang pamer. Silaturahmi dan saling bermaaf-maafan dengan keluarga dan handai taulan di hari Idul Fitri tentu saja sangat dianjurkan tetapi banyak orang yang untuk melakukannya sampai harus jor-joran dan memaksakan diri. Makna lebaran menjadi sangat terdegradasi karena masih sangat berpikir duniawi dan materialistik yang sekali lagi kontraproduktif dengan hakikat Ramadhan. Banyak dari kita berupaya untuk tampil bermewah-mewahan sehingga akan dapat menyulut kecemburuan sosial.

No comments:

Post a Comment