September 13, 2010
Pesona Jakarta dan "Laron-laron"
Secercah cahaya dalam kegelapan
dian menyala dan membagi terang
laron-laron terpesona datang menghampiri
namun hangus dalam nyala api dia yang panas membara oh oh wo woh….
namun dian tetap indah dan menyala megah
beribu laron datang lagi dan kembali musnah
tiada sadar bahaya dibalik keindahan berselubung berjuta kehangatan dan kenikmatan dunia wo hoo wo ho… wo wo wo ho….
reff :
apakah engkau juga laron yang terpedaya apakah engkau ingin jadi laron tertipu
laron-laron desa berduyun-duyun ke kota
menuju gemerlap lampu-lampu yang indah
dengan harapan dan impian tentang nirwana namun apa yang ditemui hanyalah sejuta kecewa
Lagu “Laron-laron” di atas adalah milik salah satu band terbesar tanah air yaitu Makara yang dirilis lebih dari dua dekade lalu. Lagu itu sangat pas menggambarkan fenomena urbanisasi yang terjadi di ibu kota. Barangkali lagu itu juga dimaksudkan sebagai kritik kepada para penyelenggara negara dari kelompok musik progressive rock itu melihat ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia saat itu sehingga banyak orang, termasuk penulis sendiri, dan juga sebagian Anda hehehehe, memilih tinggal dan bekerja di Jakarta.
Dua puluh tahun lebih kemudian, lagu tersebut ternyata masih sangat relevan dengan fenomena yang ada yaitu Jakarta yang semakin sesak. Biasanya, fenomena arus urbanisasi terjadi saat seusai mudik lebaran dimana para pemudik membawa para sanak dan handai taulan mereka untuk mengadu peruntungan di Jakarta. Jadi tak heran bila Jakarta yang biasanya lebih lengang di hari-hari lebaran, kini sepertinya nyaris tidak berubah sama sekali dimana kemacetan masih terjadi dimana-mana. Kalau sudah begitu, Anda bisa bayangkan bagaimana beban Jakarta selanjutnya seiring dengan arus balik para pemudik yang membawa serta para kerabat dan handai taulan mereka ke kota yang telah berusia lebih dari 450 tahun ini.
Mengapa Jakarta menjadi magnet?
Terdapat banyak alasan tentunya mengapa Jakarta menjadi pilihan. Bagi penulis pribadi, yang memang kebetulan telah lama menetap dan tinggal di Jakarta dimana diboyong oleh orang tua saat memasuki usia sekolah SMP yang tentunya telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan salah satu kota terpolusi terbesar di dunia ini. Sehingga, hal demikian juga menjadi suatu alasan dari penulis sendiri untuk tetap menyukai tinggal di kota ini walaupun dalam beberapa tahun belakangan ini penulis mulai mengeluhkan minimnya waktu untuk dapat menikmati diri sendiri dan bersosialisasi akibat kemacetan akut yang setiap hari ditemui.
Kemacetan itu tidak saja membuat jenuh tetapi juga telah menyebabkan menurunnya produktivitas penulis dengan kegiatan-kegiatannya. Tetapi, barangkali sama dengan Anda, mempertimbangkan untuk tinggal di kota lain? rasanya ada perasaan berat juga ya? Itu alasan dari penulis, lalu bagaimana dengan Anda dan juga para pendatang baru yang memilih mencoba peruntungannya di Jakarta ini? Lalu, apakah hubungan tulisan ini dengan lagu Makara di atas? Bagi penulis, lagu itu sekedar “reminder” saja bagi siapapun yang ingin datang ke Jakarta dan barangkali senafas juga dengan Makara yang hendak menyampaikan, bahwa pemerataan pembangunan memang belum terjadi di Indonesia tercinta ini. Pemerataan dimaksud bukan hanya masalah pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan dari berbagai dimensi lainnya. Sebab, berkaca dari pengalaman penulis saat ditempatkan di salah satu kota lainnya oleh perusahaan dimana dahulu penulis bekerja, ada “atmosfir” yang sangat berbeda memang. Intinya, memang pada pemerataan di segala bidang.
September 12, 2010
HALAL BIHALAL
a. Taubat (Tobat)
Al-Quran mengisyaratkan adanya dua pelaku tobat, yakni Allah dan manusia. Di sini dapat ditambahkan bahwa ada dua macam tobat (kembalinya)Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya tobat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara lain tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 186,
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat...
Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai
huruf Ya' (sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya
digunakan untuk menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang
bergelimang di dalam dosa tetapi berkeinginan kembali
kepada-Nya.
Perhatikan firman-Nya:
Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah
ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30).
Dan firman-Nya:
Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan
telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali),
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah (QS
Al-Zumar [39]: 53)
Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah
dekat dengan hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih
bergelimang dalam dosa dan maksiat tetapi telah memiliki
kesadaran untuk bertobat.
Tobat Allah (kembalinya Allah) terhadap yang berkeinginan
dekat kepada-Nya, lebih jelas terlihat pada ayat berikut:
Maka Adam menerima dan Tuhan-Nya (petunjuk) berupa
kalimat-kalimat, dan Dia bertobat (mengampuninya) (QS
Al-Baqarah [2]: 37).
Pemberian kalimat-kalimat itu memberi isyarat bahwa Allah
membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang
berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. "Penerimaan
kalimat-kalimat dari Tuhan" itulah yang mengantarkan Adam
mengajukan permohonan ampun kepada Allah.
Langkah pertama dari tobat Allah ini, antara lain dipahami
pula dari redaksi-redaksi fashilat (penutup) ayat-ayat yang
berbicara tentang tobat-Nya.
Perhatikanlah kedua ayat berikut ini:
Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke
jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan
orang-orang saleh) dan hendak menerima tobatmu. Allah
Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS Al-Nisa' [4]: 261.
Maka barangsiapa bertobat (di antara pencuri-pencuri
itu) sesudah melakukan kejahatannya, dan memperbaiki
diri, sesungguhnya Allah bertobat kepadanya (menerima
tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39).
Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama
tobat Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui
terketuk hatinya atau memiliki kesadaran terhadap dosanya.
Langkah tersebut dilakukan oleh Allah karena Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu, termasuk bisikan-bisikan hati
manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam posisi inilah
Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat yang
wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia
selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh
dari Allah Swt.
Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat A1lah,
tetapi kali ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke
posisi semula. Namun harus disadari bahwa hal ini baru terjadi
jika sang hamba yang berdosa bertobat dan memperbaiki diri.
Allah mendekatkan diri dan kembali ke posisi semula,
disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Al-'Afw (Maaf)
Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Kata
ini pada mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:
Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka nafkahkan
(kepada orang). Katakanlah, "al-'afw" (yang berlebih dari
keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya
menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki)
menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata
al-'afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan,
berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam
hati.
Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf,
ditemukan bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha
manusia untuk bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang
menggunakan kata 'afa, dan berbicara tentang pemaafan semuanya
dikemukakan tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari orang yang
bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu
sendiri (tidak dapat menahan nafsumu sehingga
bersetubuh di malam hari bulan Ramadhan dengan dugaan
bahwa itu haram) maka Allah memaafkan kamu (QS
Al-Baqarah [2]: 187).
Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin
kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang
yang benar (dalam alasannya) dan sebelum engkau
mengetahui pula para pembohong? (QS Al-Tawbah [9]: 43).
Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang
setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat
baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura
[42]: 40).
Perhatikan juga firman-Nya dalam surat Ali-'Imran ayat 152 dan
155, juga Al-Maidah ayat 95 dan lOl. Ternyata tidak ditemukan
satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang
ada adalah perintah untuk memberi maaf.
Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada
Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur
[24): 22).
Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk
tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah,
melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang
enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh
pengampunan dan Allah Swt. Tidak ada alasan untuk berkata,
"Tiada maaf bagimu", karena segalanya telah dijamin dan
ditanggung oleh Allah Swt.
Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya
menyangkut dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa
dan kesalahan-kesalahan besar.
Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 51-52, berbicara tentang
pemaafan Allah bagi umat Nabi Musa a.s. yang mempertuhankan
lembu:
Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa
(memberikan Taurat) sesudah empat puluh hari, lalu kamu
menjadikan anak lembu (yang dibuat dari emas) untuk
disembah sepeninggalnya, dan kamu adalah orang-orang
yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan
kesalahanmu, agar kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]:
51-52).
c. Al-Shafh (Lapang Dada)
Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan
kali dalam Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang.
Halaman pada sebuah buku dinamai shafhat karena kelapangan dan
keluasannya.
Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat
tangan dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi
perlambang kelapangan dada.
Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di
antaranya didahului oleh perintah memberi maaf.
Perhatikan ayat-ayat berikut:
Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta
melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
penyayang (QS Al-Thaghabun [64]: 14).
Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah
kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]:
22) .
Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya
Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan
(terhadap yang melakukan kesalahan kepadanya) (QS
Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat Al-Baqarah [2]:
lO9).
Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan
bahwa al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf).
Pernyataan yang dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan
kebahasaan sebagai berikut.
Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah
shafhat yang berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar
kertas yang ditulisi suatu kesalahan, lantas kesalahan itu
ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat mengambil penghapus
karet untuk menghapusnya. Seperti demikianlah ketika Anda
melakukan 'afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada
kertas itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya
dengan Tipp Ex agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda
melakukan takfir seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan, namun pasti sedikit
banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya dengan
lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah,
di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung
arti lapang dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut
seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikit pun
hubungan tidak ternodai, tidak kusut, dan tidak seperti
halaman yang telah dihapus kesalahannya.
Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang
untuk membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau
menggunakan lagi lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan
telah dihapus, kadang-kadang masih saja ada kekusutan masalah.
Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan
perintah al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena
tidak mungkin membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar
yang telah ada kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya
ayat-ayat yang memerintahkan al-shafh tetapi tidak didahului
oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan dengan jamil yang
berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan dengan
perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak
(perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]: 85,
serta Al-Zukhruf [43]: 89):
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik
(Al-Hijri [5]: 85).
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan mengatakan
salam/kedamaian (QS Al-Zukhruf [43]: 84).
d. Al-Ghufran
Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya
berarti menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup
putihnya disebutkan dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar kata
yang sama, lahir kata ghifarah, yang berarti sepotong kain
yang menghalangi kerudung sehingga tidak ternodai oleh minyak
rambut. Maghfirah Ilahi adalah "perlindungan-Nya dari siksa
neraka."
Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 31 dinyatakannya bahwa,
Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi
dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."
Kemudian dalam Al-Quran surat Al-Anfal (8): 29, dinyatakan,
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu
furqan (petunjuk membedakan yang hak dan yang batil),
dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu, serta
yaghfir lakum (melindungi kamu dari siksa). Dan Allah
mempunyai karunia yang besar.
Dari kedua ayat di atas terlihat, bahwa kata yaghfir bila
dirangkaikan dengan menyebutkan dosa, berarti menutup dosa
dengan sesuatu. Sedangkan bila tidak dirangkaikan dengan
menyebutkan dosa --sebagaimana ditunjukkan dalam surat
Al-Anfal ayat 29-- berarti melindungi manusia dari siksa atau
bencana. Baik dalam konteks pertama maupun konteks kedua,
ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengampunan
atau perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dari kedua ayat tersebut juga terbaca bahwa syarat penutupan
dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat kebajikan. Di
sini terlihat salah satu perbedaan antara al-'afw (maaf)
dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan
keduanya, yakni:
Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah
kami (QS Al-Baqarah [2]: 286).
TAKFIR
Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al-Quran juga
menggunakan istilah takfir. Kata ini, terambil dari kata
kaffara yang berarti menutup.
Al-Quran mempergunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya
sebanyak 14 kali (kecuali kaffarat), pelakunya ada1ah A11ah
Swt.
Yang empat kali itu selalu digandengkan dengan syarat
melakukan amal-amal saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa
besar.
Perhatikan misalnya firman Allah:
Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang
untuk melakukannya, akan Kami tutupi
kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa' [4]: 3l).
Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti
Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS
Al-'Ankabut [29]: 7)
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal
saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun
[64]: 9).
Dari keempat belas kali yang disebut itu, teramati pula tiga
belas di antaranya dirangkaikan dengan kata as-sayyiat yang
diterjemahkan sebagai kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa
kecil. Hanya satu ayat yang tidak menyebutkan kata as-
sayyiat, melainkan menggunakan istilah aswa' alladzi 'amilu
(perbuatan terjelek yang mereka lakukan), yang pada hakikatnya
dapat juga diartikan sebagai dosa-dosa kecil.
Nah, dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil seseorang
dapat ditoleransi oleh Allah Swt. akibat adanya amal-amal
saleh yang menutupinya .
Dalam konteks ini Nabi Saw. berpesan,
Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan
susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya kebaikan
itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak
yang baik. (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu
Dzar).
Demikian sedikit dan banyak kesan yang dapat diperoleh dari
ayat-ayat Al-Quran berkaitan dengan halal-bihalal/maaf
memaafkan.
----------------
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
September 08, 2010
Inovasi Teknologi dan Surat Al-Alaq
Melihat fenomena kirim-mengirim ucapan Selamat Hari Idul Fitri tahun ini melalui media jaringan sosial seperti facebook semakin menyadarkan kita akan cepat dan masifnya dinamika inovasi teknologi saat ini. Kita jadi punya banyak pilihan dan semakin mempermudah urusan.
Namun demikian, inovasi teknologi juga membawa konsekwensi negatif yang bersifat multidimensional. Layanan pesan singkat (sms) melalui seluler dulu berhasil menggeser dominasi kartu-kartu ucapan seperti ucapan Selamat Lebaran dan sebagainya, hingga bahkan mampu menggilas keberadaan bisnis wartel. Sekarang, para operator seluler agaknya harus merelakan menurunnya pendapatan mereka dari pulsa-pulsa sms layanan mereka karena keberadaan jaringan sosial dunia maya.
Begitu juga di bidang penerbitan yang nantinya bukan tidak mungkin menjadi arus media utama dengan semakin maraknya keberadaan portal-portal virtual. Teknologi jugalah yang telah menggilas keberadaan toko-toko kaset/CD. Demikian juga dengan keberadaan toko-toko online yang sedikit banyak telah berimbas pada toko-toko konvensional karena sebagian orang malas bepergian akibat kemacetan, dan sebagainya. Dan bukan sesuatu yang mustahil pula nantinya, keberadaan kantor-kantor konvensional akan mengalami pergeseran.
Fenomena di atas semakin membuat kita sadar akan pentingnya inovasi dan kreativitas bila kita tidak ingin dilibas zaman. Fenomena di atas harusnya dilihat sebagai terciptanya berbagai peluang. Di sinilah peran visi dan kemampuan "membaca" (Iqra') kita perlukan. Ini jugalah yang membuat kita sadar bahwa perintah Allah SWT kepada Rasul-Nya Baginda Rasulullah melalui surat pertama yang diturunkan-Nya yaitu Surat Al-Alaq benar adanya. Apa pun fenomena yang terjadi berupa rencana dan ciptaan-Nya tidak ada yang sia-sia dan semakin menyadarkan kita bahwa Allah itu memang ada.
Akhlak Islami
Akhlak Islami tampaknya semakin hari semakin pudar, etos Akhlak Islam ini sulit di aplikasikan karena memang tidak dijadikan standar baku dalam pendidikan modern khususnya bagi umat Islam di Indonesia.
Cukup bagi kita sebuah ayat Al-Qur'an yang mengukapkan kemulian akhlak/perangai Nabi Saw. dan hal ini sebenarnya menjadi acuan pentingnya mengaplikasikan akhlak mulia minimal semampu kita.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
" Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. AL-Qalam: 4)
I. APA AKHLAK ITU ?
Akhlak adalah suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal atau pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Versi lainnya mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah:
1. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, dan telah menjadi kepribadiannya.
2. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa dipikir terlebih dahulu. Ini berarti bahwa saat melakuakan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan bisa saja dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur dan gila.
3. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan sendiri.
4. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau bersandiwara.
5. Akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena keikhlasan semata-mata karena Allah, bukan karena dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Contohnya seseorang yang terbiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang terbiasa menjelekan orang lain (ghibah), tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan lainnya, maka dimanapun berada mereka tidak akan berubah, meskipun di dalam mesjid, atau di masjidil Haram sekalipun.
II. Perbedaan Antara Akhlak Islam, Etika dan Moral
Etika adalah salah satu cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut. Sedangkan justifikasi baik buruknya suatu perbuatan, parameternya adalah akal pikiran. Sedangkan moral berarti baik atau buruknya satu perbuatan dan kelakuan seseorang yang akhirnya menjadi adat istiadat masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa baik buruknya suatu tindakan, secara moral hanya bersifat lokal.
Penggunaan istilah etika, moral, norma ataupun nilai sering disamakan dengan istilah akhlak, namun jika diteliti ternyata antara etika, moral maupun akhlak terdapat perbedaan dan persamaan. Persamaan antara akhlak, etika dan moral terletak pada obyek, yakni sama-sama membahas baik-buruknya tingkah laku manusia. Sedangkan perbedaannya terletak pada parameternya. Kalau etika menggunakan parameter akal fikiran, moral menggunakan tolak ukur adat istiadat satu masyarakat atau kebudayaan tertentu. Sedangkan akhlak menggunakan parameter agama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. sedangkan perbedaanya akhlak menilai perbuatan manusia dengan tolak ukur Qur’an dan Sunnah. Perbedaan secara khusus, moral lebih bersifat praktis, dan bersifat lokal, sedangkan sedangkan etika lebih bersifat universal dengan kata lain berlaku di setiap daerah bahkan di semua kebudayaan tertentu. Contohnya, mencuri, korupsi, memukul dan lainnya oleh pandangan etika menurut adat dan kebudayaan dimanapun dianggap tercela dan buruk.
III. Tujuan Akhlak Islam
Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah Swt yang sangat pedih. Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain di dunia ini dan juga mendapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasud tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain didunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Suka atau tidak, mau ataupun tidak mau, senang atau tidak, seorang muslim haruslah berakhlak yang baik dengan tuntunan yang telah dijelaskan dengan gamblang oleh Al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Akhlak Islam tidak saja meliputi gerak langkah saja, namun hatipun harus berakhlak, fikikiranpun harus pula berakhlak.
Oleh: Kang Ackmanz/Akhlak Muslim on Facebook
September 07, 2010
Hati-hati Dengan Hati
" Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semuanya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka akan jeleklah semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Macam-macam hati
Hati merupakan bagian terpenting dalam tubuh manusia. Hati ini tidak akan terlepas dari tanggung jawab yang dilakukannya kelak di akhirat, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya." (Al-Isra: 36).
Dalam tubuh manusia kedudukan hati dengan anggota yang lainnya adalah ibarat seorang raja dengan seluruh bala tentara dan rakyatnya, yang semuanya tunduk di bawah kekuasaan dan perintahnya, dan bekerja sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
1. Hati yang sehat
Yaitu hati yang terbebas dari berbagai penyakit hati. Firman Allah: "(Yaitu) di hari yang harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat kecuali siapa yang datang mengharap Allah dengan membawa hati yang selamat." (Asy-Syura: 88-89).
Ayat ini sangatlah mengesankan, di sela-sela harta benda yang diburu dan dikejar-kejar orang, dan anak-anak laki-laki yang sukses dengan materinya dan sangat dibanggakan, ternyata itu semua tidak akan memberi manfaat kecuali siapa yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.
Yaitu selamat dari semua nafsu syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah dan laranganNya, dan dari semua syubhat yang memalingkan dari kebenaran, selamat dari peribadatan dan penghambaan diri kepada selain Allah, selamat dari berhukum dengan hukum yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya, dan mengikhlaskan seluruh peribadatannya hanya karena Allah, iradahnya, kecintaannya, tawakkalnya, taubatnya, ibadah dalam bentuk sembelihannya, takutnya, raja'nya, diikhlaskannya semua amal hanya kepada Allah.
Apabila ia mencintai maka cintanya karena Allah,
apabila ia membenci maka bencinya karena Allah,
apabila ia memberi maka memberinya karena Allah,
apabila menolak maka menolaknya karena Allah.
Dan tidak hanya cukup dengan ini, sampai ia berlepas diri dari semua bentuk keterikatan dan berhukum yang menyelisihi contoh dari Rasulullah. Maka hatinya sangat tertarik dengan ikatan yang kuat atas dasar mengikuti jejak langkah Rasulullah semata, dan tidak mendahulukan yang lainnya baik ucapan maupun perbuatannya.
Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1).
2. Hati yang sakit
Yaitu kebalikan dari hati yang sehat, hati yang tidak mengenal dengan Rabbnya, tidak melakukan ibadah sesuai dengan apa yang perintahkanNya, dicintaiNya dan diridhaiNya. Bahkan selalu memperturutkan nafsu dan syahwatnya serta kenikmatan dan hingar bingarnya dunia, walaupun ia tahu bahwa itu amatlah dimurkai oleh Allah dan dibenciNya.
Ia tidak pernah peduli tatkala memuaskan diri dengan nafsu syahwatnya itu diridhaiNya atau dimurkaiNya, dan ia menghambakan diri dalam segala bentuk kepada selain Allah.
Apabila ia mencintai maka cintanya karena nafsunya, apabila ia membenci maka bencinya karena nafsunya, apabila ia memberi maka itu karena nafsunya, apabila ia menolak maka tolakannya atas dasar nafsunya, maka nafsunya sangat berperan dalam dirinya, dan lebih ia cintai daripada ridha Allah.
Orang yang demikian menjadikan hawa nafsu sebagai imamnya, syahwat sebagai komandannya, kebodohan menjadi sopirnya, dan kelalaian sebagai tunggangan dan kendaraannya. Pikirannya hanya untuk mendapatkan dunia yang menipu ini dan dibuat mabuk oleh nafsu untuk mendapatkannya,ia tidak pernah meminta kepada Allah kecuali dari tempat yang jauh. Tidak membutuhkan nasihat-nasihat dan selalu mengikuti langkah-langkah syetan yang selalu merayu dan menggodanya.
Maka bergaul dengan orang seperti ini akan mencelakakan kita, berkawan dengannya akan meracuni kita, dan duduk dengannya akan membinasakan kita.
3. Hati yang mati
Yaitu kebalikan dari hati yang sehat, hati yang tidak mengenal dengan Rabbnya, tidak melakukan ibadah sesuai dengan apa yang perintahkanNya, dicintaiNya dan diridhaiNya. Bahkan selalu memperturutkan nafsu dan syahwatnya serta kenikmatan dan hingar bingarnya dunia, walaupun ia tahu bahwa itu amatlah dimurkai oleh Allah dan dibenciNya.
Ia tidak pernah peduli tatkala memuaskan diri dengan nafsu syahwatnya itu diridhaiNya atau dimurkaiNya, dan ia menghambakan diri dalam segala bentuk kepada selain Allah.
Apabila ia mencintai maka cintanya karena nafsunya, apabila ia membenci maka bencinya karena nafsunya, apabila ia memberi maka itu karena nafsunya, apabila ia menolak maka tolakannya atas dasar nafsunya, maka nafsunya sangat berperan dalam dirinya, dan lebih ia cintai daripada ridha Allah.
Orang yang demikian menjadikan hawa nafsu sebagai imamnya, syahwat sebagai komandannya, kebodohan menjadi sopirnya, dan kelalaian sebagai tunggangan dan kendaraannya. Pikirannya hanya untuk mendapatkan dunia yang menipu ini dan dibuat mabuk oleh nafsu untuk mendapatkannya,ia tidak pernah meminta kepada Allah kecuali dari tempat yang jauh. Tidak membutuhkan nasihat-nasihat dan selalu mengikuti langkah-langkah syetan yang selalu merayu dan menggodanya.
Maka bergaul dengan orang seperti ini akan mencelakakan kita, berkawan dengannya akan meracuni kita, dan duduk dengannya akan membinasakan kita.
Kita memang harus berhati-hati dengan hati kita karena tentunya kita tidak ingin hidup dengan hati yang sakit apatahlagi dengan hati yang mati. Bulan Ramadhan yang akan segera meninggalkan kita ini adalah salah satu kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada para hamba-Nya untuk dapat menengok kedalam diri kita (intropeksi) dan melakukan konsolidasi agar di bulan-bulan lainnya kita menjadi manusia yang lebih baik lagi dan syukur-syukur dapat benar-benar fitri lahir-bathin (reborn) dan memperoleh derajat taqwa dan ikhsan sehingga kita memang pantas merayakan hari raya Idul Fitri ini. Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan bathin...
Sumber: hajiumroh.com
September 06, 2010
Antara Riba dan Zakat
Foto: Uangnya mas Donny "Mbung 80an".
Secara bahasa ada kemiripan arti dan makna antara riba dan zakat, yaitu sama-sama bertambah. Hanya saja, riba itu tambahan yang bersifat batil. Karena itu, tidak diridai Allah sehingga jika dilakukan akan berakibat kehancuran serta kerusakan hidup (QS. Al-Baqarah [2]: 275 dan QS. Ar-Rum [30]: 39).
Dan jika ada orang, kelompok, atau bangsa tetap saja melaksanakan kegiatan riba, padahal sudah diketahuinya bahwa riba/bunga itu haram, maka dianggap sama dengan menentang atau mengajak berperang dengan Allah SWT.
Perhatikan firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 279, “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya-Nya.”
Sebaliknya, mengeluarkan zakat yang walaupun secara lahiriah kelihatannya akan mengurangi harta, tetapi ternyata justru sebaliknya, akan menyucikan, mengembangkan, dan memberkahkan harta yang dimiliki.
Perhatikan firman-Nya dalam QS. Ar-Rum [30] ayat 39, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya).”
Dan QS At-Taubah [9] ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Terlebih lagi, jika sudah mampu mengeluarkan sedekah atau infak, yaitu mengeluarkan harta untuk kebaikan di luar zakat, akan lebih mengembangkan harta yang dimiliki, di samping akan menyucikan hati dan pikiran. Rasululah SAW bersabda, “Tidak akan pernah berkurang harta yang dikeluarkan sedekahnya.” (HR Thabrani)
Sebagai bangsa yang sering menyatakan diri sebagai bangsa yang religius, sudah sepantasnya kita berusaha seoptimal mungkin untuk menjauhkan diri dari sistem ribawi dalam segala bidang kehidupan, terutama kegiatan ekonomi, karena hanya akan melahirkan kerusakan dan kesenjangan.
Sebaliknya, terus-menerus mengoptimalkan pengumpulan dan pendaya-gunaan zakat, yang di samping akan mengembangkan harta, juga akan mampu mengurangi angka kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mari kita renungkan firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 276, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
Sumber: Mimbar Jum'at
Adab Berhari Raya
Tak terasa, sebentar lagi umat Islam di seantero jagad akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1431 H. Inilah, hari kemenangan bagi mereka yang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Semua umat Muslim bersuka cita menyambut datangnya hari raya.
Umat Muslim di berbagai tempat, daerah, dan negara memiliki tradisi masing-masing dalam menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Namun, intinya pada saat hari raya, setiap keluarga bisa berkumpul, saling mengunjungi, dan bersilaturahim, serta saling memaafkan.
Agar Idul Fitri 1431 H benar-benar bermakna, sebaiknya seorang Muslim hendaknya memperhatikan adab berhari raya. Rasulullah SAW telah memberi contoh dan teladan tentang adab berhari raya.
Dalam Kitab Mausuu’atulAadaab Al-Istaamiyyah, Syekh Abdul Azis bin Fathi As-Sayyid Nada menjelaskan adab berhari raya secara rinci.
1. Niat yang benar
Niat yang benar merupakan dasar dari semua urusan. “Wajib bagi seorang Muslim menghadirkan niat yang benar dalam segala perkara berkaitan dengan hari raya, seperti berniat ketika keluar rumah untuk shalat demi mengikuti Nabi SAW, ” ungkap Syekh Sayyid Nada.
2. Mandi
Pada hari Idul Fitri hendaknya setiap Muslim mandi. Sehingga, dapat berkumpul bersama kaum Muslimin Lainnya dalam keadaan bersih dan wangi. Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, bahwa ia mandi pada hari raya Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR Malik dalam kitab al-Muwaththa).
3. Memakai wewangian
Saat akan shalat Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim memakai wewangian dan dalam keadaan bersih.
4. Memakai pakaian baru
Menurut Syekh Sayyid Nada, jika seseorang mampu, disunahkan memakai pakaian baru pada hari raya Idul Fitri. Hal itu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan menunjukkan kegembiraan pada hari raya. Ibnu Umar RA memakai pakaian terbaiknya pada kedua hari raya. (HR. Al-Baihaki).
5. Mengeluarkan zakat fitrah sebelum melaksanakan shalat.
Sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, seorang Muslim wajib mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat untuk menggembirakan fakir-miskin dan orang yang membutuhkan pada hari Id tersebut. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar untuk shalat. (HR Bukhari-Muslim).
6. Makan sebelum berangkat dari rumah pada hari raya Idul Fitri.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ath-Thabrani, Rasulullah SAW sebelum berangkat shalat pada hari raya Idul Fitri memakan kurma terlebih dahulu. Dalam riwayat lain disebutkan, Nabi SAW tak berangkat shalat Idul Fitri kecuali setelah makan, sedangkan beliau tidak makan pada hari raya Idul Adha, kecuali setelah pulang dan makan dari hewan kurbannya. (HR at-Tirmidzi)
7. Bersegera menuju tempat shalat.
Pada hari raya Idul Fitri, hendaknya setiap Muslim bergegas menuju tempat dilakukannya shalat Id.
8. Keluarnya wanita ke tempat shalat.
Menurut Syekh Sayyid Nada, wanita dianjurkan untuk keluar menuju tempat shalat walaupun sedang haid. Sehingga, mereka dapat menyaksikan dan mendapat kemuliaan hari raya serta merasakan kebahagiaan bersama orang Lain.
Meski begitu, hendaknya wanita yang haid memisahkan diri dari tempat shalat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim, Nabi SAW memerintahkan gadis-gadis pingitan, anak-anak, serta wanita haid untuk keluar, namun wanita haid yang menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Mukminin, hendaklah mereka memisahkan diri dari tempat shalat.
9. Anak-anak juga keluar untuk shalat.
Ibnu Abbas RA berkata, “Aku keluar bersama Nabi SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, kemudian beliau shalat dan berkhutbah… ” (HR Bukhari-Muslim). Menurut Syekh Sayyid Nada, hendaknya anak-anak ikut keluar sehingga mereka ikut merasakan kebahagiaan hari raya, bersenang-senang dengan pakaian baru, keluar ketempat shalat, dan menyaksikan jamaah kaum Muslimin walaupun mereka tidak shalat karena masih kecil.
10. Keluar untuk shalat dengan berjalan kaki.
Keluar berjalan kaki untuk shalat termasuk sunah. Sebagaimana Nabi SAW keluar pada dua hari raya dengan berjalan kaki, shalat tanpa azan dan iqamat, dan pulang berjalan kaki melalui jalan lain. (HR Ibnu Majah). Perbuatan inilah yang disukai selama tak memberatkan orang yang shalat.
11. Bertasbih dengan suara keras sampai ke tempat shalat.
Disunahkan bertasbih mulai dari keluar rumah sampai ke tempat shalat. Hal ini untuk menunjukkan syi’ar Islam.
12. Bersalaman dan saling mengucapkan selamat di antara orang yang shalat.
Bersalaman dan saling mengucapkan selamat akan membahagiakan jiwa yang merasa gembira pada hari Id. Bisa pula sambil mengucapkan, “Semoga allah menerima amal kami dan amal kalian.”
13. Bersilaturahim.
Menjalin silaturahim wajib pada setiap waktu. Namun, semakin dianjurkan pada saat hari raya Idul Fitri. Sehingga, semua anggota keluarga bisa senang dan bisa merasakan kebesaran hari raya itu.
14. Saling bertukar hadiah dan makanan.
Sudah menjadi tradisi, pada hari raya setaip tetangga bertukar makanan dan hidangan. Bahkan, dianjurkan untuk memberikan hadiah bagi mereka yang tak mampu.
Sumber: Halaman Tuntunan Tabloid Republika, 3 September 2010
Kiat Berkahnya Pernikahan
Di saat seseorang melaksanakan aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul ‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’ (bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: (1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan” kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh, begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya. Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi) untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:
Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata, dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah), sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy ‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah), sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”
Wujud indahnya keberkahan keluarga
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-Zukhruf:70)
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki.
Oleh : Sri Kusnaeni @dakwatuna.com
Empat Kunci Rumah Tangga Harmonis
Harmoni tercipta karena adanya perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah, serasi dan harmonis.
Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.
Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.
Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah:
1. Jangan melihat ke belakang
Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.
Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.
Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.
2. Berpikir objektif
Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.
Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.
Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.
Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.
3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya
Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.
Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.
Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.
4. Sertakan sakralitas berumah tangga
Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.
Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.
Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!
Oleh : Mochamad Bugi @Dakwatuna.com
Mengakhiri Ramadhan
Ramadhan akan segera berlalu. Seperti biasa, kaum muslimin menyikapi akhir Ramadhan dengan ragam kegiatan yang berbeda-beda. Setiap muslim di ujung ramadhan mendapati dirinya pada dua dilema yang selalu berulang setiap tahunnya. Kita pasti bersedih karena akan kehilangan momentum pahala dan keberkahan yang berlipat-lipat di bulan ramadhan, namun pada saat yang sama kita juga harus bergembira dengan datangnya hari raya Idul Fitri. Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda tentang kebahagiaan di hari raya : “ Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan sungguh inilah hari kegembiraan bagi kita “ (HR Bukhori).
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan seorang muslim di akhir ramadhan, agar bisa tetap optimal dalam menutup ramadhan, sekaligus mempersiapkan kebahagiaan yang syar’I di hari raya nanti ;
Pertama : Berusaha tetap istiqomah dan bersungguh-sungguh dalam ibadah.
Rasulullah SAW senantiasa meningkatkan ibadahnya di akhir Ramadhan. Beliau juga menjalankan sunnah I’tikaf – berdiam diri di masjid untuk beribadah – selama sepuluh hari yang terakhir. Dari Aisyah ra, ia berkata : adalah Nabi SAW ketika masuk sepuluh hari yang terakhir (Romadhon), menghidupkan malam, membangunkan istrinya, dan mengikat sarungnya (HR Bukhori dan Muslim). Ini adalah sebuah isyarat khusus dari Rasulullah SAW bagi kita tentang bagaimana seharusnya mengakhiri ramadhan. Jauh dengan yang sebagian besar dilakukan oleh kaum muslimin di hari-hari ini, yaitu meninggalkan tarawih dan tilawah untuk ikut berjubel di pusat perbelanjaan dan toko-toko pakaian. Ramadhan belumlah usai, tetapi banyak yang mengakhiri ramadhan sebelum waktunya.
Di akhir Ramadhan ini, hendaknya seorang muslim sejenak melakukan perenungan diri. Bermuhasabah agar hati ini tidak merasa sombong dengan banyak ibadah yang telah dilakukan, tapi justru terus mawas diri dan berharap agar puasa dan amal ibadah lainnya selama Ramadhan ini benar-benar diterima di sisi Allah SWT. Hendaklah kita merenungi sabda Rasulullah SAW : " Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan dari puasanya kecuali hanya rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang sholat malam, tapi tidak mendapatkan dari sholatnya kecuali hanya begadang " (HR Ibnu Majah & al-Hakim)
Kedua : Mengeluarkan zakat fitrah dengan ikhlas dan tepat waktu
Dari Ibnu Abbas ra : Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari kesia-sian dan perbuatan keji, dan juga sebagai makanan bagi kaum miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum sholat (ied) maka itu adalah zakat yang dikabulkan, dan barang siapa yang menunaikannya setelah sholat (ied) maka dia termasuk sedekah biasa.(HR Ibnu Dawud & Ibnu Majah)
Mengeluarkan zakat fitrah di akhir ramadhan hendaklah ditunaikan dengan ihsan. Mereka yang membayar zakat benar-benar harus memahami hikmah yang terkandung dari kewajiban zakat fitrah. Jangan sampai ada yang merasa ini hanyalah sebuah kebiasaan atau tradisi yang selalu berulang menjelang hari raya. Hendaknya kita merasakan dengan hati mendalam bahwa inilah kesempatan emas bagi kita untuk menebus kelalaian-kelalaian kita saat berpuasa di hari-hari sebelumnya, sekaligus sarana berbagi kebahagiaan di hari raya Idul Fitri. Dengan pemahaman yang baik tentang zakat fitrah, maka insya Allah kita akan menjalankan benar-benar dengan keikhlasan, dan juga tepat pada waktunya sesuai yang disyariatkan Islam.
Ketiga : Meningkatkan Syiar Idul Fitri, dan bukan sekedar menjaga tradisi.
Hari raya Idul Fitri adalah salah satu syiar dalam agama Islam. Karenanya, sudah sepatutnya seorang muslim menyambutnya dengan kegembiraan dan mengagungkannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an : “ dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar (agama) Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati “ (QS Al-Haj 32)
Rasulullah SAW dalam haditsnya banyak menunjukkan esensi hari raya Idul Fitri sebagai sebuah syiar yang harus disemarakkan. Salah satu wanita shahabat, Athiyyah ra berkata : Kami diperintahkan supaya keluar pada hari raya, sehingga kami mengeluarkan gadis-gadis perawan dari pingitannya dan mengeluarkan wanita-wanita haid. Mereka berada di belakang orang banyak, ikut bertakbir dan berdoa bersama yang lainnya karena mengharap berkah dan kesucian hari tersebut (HR Bukhori & Muslim ). Riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bagaimana gambaran syiar Idul Fitri yang harus disemarakkan dengan optimal, diikuti dan dirayakan oleh segenap kaum muslimin.
Indonesia kaya akan tradisi menyambut lebaran. Dari mulai tradisi mudik, pakaian baru, hingga aneka hidangan di hari raya akan sangat menyibukkan waktu kita menjelang hari raya.Tentu saja semua itu akan tetap berharga dalam pandangan Islam, jika kita meniatkannya untuk meningkatkan syiar hari raya, bukan sekedar menjaga tradisi apalagi sarana bermewah-mewahan dan unjuk diri. Adalah penting sekali untuk meluruskan niat di saat-saat seperti ini. Akan sangat berbeda antara mereka yang mudik sekedar menjaga tradisi, dengan mereka yang memahami dan menghayati silaturahmi sebagai salah satu amalan terbaik dalam agama ini. Berbeda pula mereka yang membeli pakaian baru agar dipuji-puji, dengan mereka yang meniatkan mengikuti anjuran Rasulullah SAW untuk memakai yang terbaik di hari fitri. Sesungguhnya setiap amal bergantung pada niatnya. Hari-hari ini kita akan banyak diuji masalah niat dan keikhlasan.
Akhirnya, semoga Allah SWT memberikan kekuatan pada kita untuk mampu menutup Ramadhan tahun ini dengan ihsan, serta menyambut dan mengisi Idul Fitri dengan kegembiran yang bernilai di sisi Allah SWT. Sebuah kegembiraan yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW : " Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka ( buka puasa dan saat Idul Fitri) dan kegembiraan saat bertemu Tuhan mereka " ( HR Bukhori &; Muslim). Wallahu a’lam bisshowab.
Oleh Hatta Syamsuddin @Indonesiaoptimis.com
September 04, 2010
Tentang Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Berdasar hadits berikut, Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. telah memfardhukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha’ tamar atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan beliau menyuruh agar dikeluarkan sebelum masyarakat pergi ke tempat shalat ‘Idul Fitri.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III :367 no:1503, Muslim II: 277 no:279/984 dan 986, Tirmidzi II : 92 dan 93 no: 670 dan 672, ‘Aunul Ma’bud V:4-5 no: 1595 dan 1596, Nasa’i V:45, Ibnu Majah I: 584 no:1826 dan dalam Sunan Ibnu Majah ini tidak terdapat “WA AMARA BIHA…”).
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat ‘id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat ‘id, maka itu adalah shadaqah biasa, (bukan zakat fitrah).” (Hasan : Shahihul Ibnu Majah no: 1480, Ibnu Majah I: 585 no: 1827 dan ‘Aunul Ma’bud V: 3 no:1594).
Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah orang muslim yang merdeka yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya untuk sehari semalam. Di samping itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti isterinya, anak-anaknya, pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan pokoknya.” (Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV: 161).
Besarnya Zakat Fitrah
Setiap individu wajib mengeluarkan zakat fitrah sebesar setengah sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’ gandum (jenis lain) atau satu sha’ susu kering, atau yang semisal dengan itu yang termasuk makanan pokok, misalnya beras, jagung dan semisalnya yang termasuk makanan pokok.
Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan setengah sha’ gandum, didasarkan pada hadits dari ‘Urwah bin Zubair r.a., (ia bertutur), “Bahwa Asma’ binti Abu Bakar r.a. biasa mengeluarkan (zakat fitrah) pada masa Rasulullah saw., untuk keluarganya yaitu orang yang merdeka di antara mereka dan hamba sahaya – dua mud gandum, atau satu sha’ kurma kering dengan menggunakan mud atau sha’ yang biasa mereka mengukur dengannya makanan pokok mereka.” (ath-Thahawai II:43 dan lafadz ini baginya).
Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ selain gandum yang dimaksud di atas, mengacu kepada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. ia berkata, “Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum (jenis lain), atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ kismis. (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:371 no: 1506, Muslim II:678 no:985, Tirmizi II: 91 no :668, ‘Aunul Ma’bud V:13 no:1601, Nasa’i V:51 dan Ibnu Majah I:585 no:1829).
Dalam Syarah Muslim VII:60 Imam Nawawi menegaskan, “Menurut mayoritas fuqaha tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (bukan berupa makanan pokok).”
Menurut hemat penulis sendiri, pendapat Imam Abu Hanifah r.a. yang membolehkan mengeluarkan zakat dengan harganya tertolak, karena ayat Qur’an mengatakan yang artinya, “Dan Rabbmu tidak pernah lupa.” (Maryam : 64).
Andaikata mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya atau uang dibolehkan dan dianggap mewakili, sudah barang tentu Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menjelaskannya. Oleh karena itu, kita wajib mencukupkan diri dengan zhahir nash-nash syar’I, tanpa memalingkan (maknanya) dan tanpa pula memaksakan diri untuk mentakwilkan.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah (kami) agar zakat fitrah dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat ke tempat shalat “Idul Fitri”. (Takhrij haditsnya lihat pembahasan Hukum Zakat Fitrah, beberapa halaman sebelumnya).
Bagi yang punya, boleh mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri. Sebab ada riwayat dari Nafi’, berkata, “Adalah Ibnu Umar r.a. menyerahkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya; dan kaum Muslim yang wajib mengeluarkan zakat mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri.” (Shahih : Fathul Bari III:375 no:1511).
Haram menunda pengeluaran zakat fitrah hingga di luar waktunya, tanpa adanya udzur syar’i. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah memfardhukan zakat fitrah (atas kaum Muslimin) sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya seusai shalat ‘Idul Fitri’, maka dari itu termasuk shadaqah biasa.” (Nash hadits ini sudah termaktub dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Zakat Fitrah hanya dialokasikan kepada orang-orang miskin saja. Ini didasarkan pada Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas r.a., “Sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (Teks Arabnya termuat dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Shadaqah Tathawwu’
Sangat dianjurkan memperbanyak shadaqah tathawwu’, (shadaqah sunnah). Berdasar firman Allah SWT, “Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah:261).
Juga berdasarkan sabda Nabi saw., “Tidak ada suatu ketika segenap hamba berada di pagi hari melainkan dua puluh malaikat akan turun lalu salah seorang di antara keduanya berkata, Ya Allah berilah ganti kepada orang tersebut berinfak itu, dan yang lain berdo’a (juga), Ya Allah berilah kerusakan kepada orang yang enggan berinfak itu)." (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:304 no: 1442 dan Muslim II : 700 : 1010).
Dan orang yang paling utama memperoleh shadaqah ialah keluarganya dan kerabatnya. Rasulullah saw. menegaskan, “Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah berfungsi sebagai shadaqah, sedang yang diberikan kepada kerabat (mempunyai) dua fungsi; sebagai shadaqah dan sebagai silaturrahmi (penyambung hubungan rahim)." (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no : 3835 dan Tirmidzi II: 84 no: 653).
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 448 – 453.
Menyingkap 1001 Hikmah Shalat Subuh
“Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya” Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya; dan kalau jelek, maka jeleklah seluruh amalnya. Bagaimana mungkin seorang mukmin mengharapkan kebaikan di akhirat, sedang pada hari kiamat bukunya kosong dari shalat Subuh tepat waktu?
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya (berjamaah di masjid) sekalipun dengan merangkak” [HR Al-Bukhari dan Muslim]
Shalat Subuh memang shalat wajib yang paling sedikit jumlah rekaatnya; hanya dua rekaat saja. Namun, ia menjadi standar keimanan seseorang dan ujian terhadap kejujuran, karena waktunya sangat sempit (sampai matahari terbit)
Ada hukuman khusus bagi yang meninggalkan shalat Subuh. Rasulullah saw telah menyebutkan hukuman berat bagi yang tidur dan meninggalkan shalat wajib, rata-rata penyebab utama seorang muslim meninggalkan shalat Subuh adalah tidur.
“Setan melilit leher seorang di antara kalian dengan tiga lilitan ketika ia tidur. Dengan setiap lilitan setan membisikkan, ‘Nikmatilah malam yang panjang ini’. Apabila ia bangun lalu mengingat Allah, maka terlepaslah lilitan itu. Apabila ia berwudhu, lepaslah lilitan yang kedua. Kemudian apabila ia shalat, lepaslah lilitan yang ketiga, sehingga ia menjadi bersemangat. Tetapi kalau tidak, ia akan terbawa lamban dan malas”.
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan (waktu Isya’ dan Subuh) menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat” [HR. Abu Dawud, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah]
Allah akan memberi cahaya yang sangat terang pada hari kiamat nantinya kepada mereka yang menjaga Shalat Subuh berjamaah (bagi kaum lelaki di masjid), cahaya itu ada dimana saja, dan tidak mengambilnya ketika melewati Sirath Al-Mustaqim, dan akan tetap bersama mereka sampai mereka masuk surga, Insya Allah.
“Shalat berjamaah (bagi kaum lelaki) lebih utama dari shalat salah seorang kamu yang sendirian, berbanding dua puluh tujuh kali lipat. Malaikat penjaga malam dan siang berkumpul pada waktu shalat Subuh”. “Kemudian naiklah para Malaikat yang menyertai kamu pada malam harinya, lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka - padahal Dia lebih mengetahui keadaan mereka - ‘Bagaimana hamba-2Ku ketika kalian tinggalkan ?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami jumpai mereka dalam keadaan shalat juga’. ” [HR Al-Bukhari]
Sedangkan bagi wanita - walau shalat di masjid diperbolehkan - shalat di rumah adalah lebih baik dan lebih banyak pahalanya, yaitu yang mengerjakan shalat Subuh pada saat para pria sedang shalat di masjid. Ujian yang membedakan antara wanita munafik dan wanita mukminah adalah shalat pada permulaan waktu.
“Barang siapa yang menunaikan shalat Subuh maka ia berada dalam jaminan Allah. Shalat Subuh menjadikan seluruh umat berada dalam jaminan, penjagaan, dan perlindungan Allah sepanjang hari. Barang siapa membunuh orang yang menunaikan shalat Subuh, Allah akan menuntutnya, sehingga Ia akan membenamkan mukanya ke dalam neraka” [HR Muslim, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah]
Banyak permasalahan, yang bila diurut, bersumber dari pelaksanaan shalat Subuh yang disepelekan. Banyak peristiwa petaka yang terjadi pada kaum pendurhaka terjadi di waktu Subuh, yang menandai berakhirnya dominasi jahiliyah dan munculnya cahaya tauhid. “Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat?” (QS Huud:81)
Rutinitas harian dimulainya tergantung pada pelaksanaan shalat Subuh. Seluruh urusan dunia seiring dengan waktu shalat, bukan waktu shalat yang harus mengikuti urusan dunia.
“Jika kamu menolong (agama) Allah, maka ia pasti akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad : 7)
“Sungguh Allah akan menolong orang yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa” (QS Al-Hajj:40)
TIPS MENJAGA SHALAT SUBUH :
1. Ikhlaskan niat karena Allah, dan berikanlah hak-hak-Nya
2. Bertekad dan introspeksilah diri Anda setiap hari
3. Bertaubat dari dosa-dosa dan berniatlah untuk tidak mengulangi kembali
4. Perbanyaklah membaca doa agar Allah memberi kesempatan untuk shalat Subuh
5. Carilah kawan yang baik (shalih)
6. Latihlah untuk tidur dengan cara yang diajarkan Rasulullah saw (tidur awal; berwudhu sebelum tidur; miring ke kanan; berdoa)
7. Mengurangi makan sebelum tidur serta jauhilah teh dan kopi pada malam hari
8. Ingat keutamaan dan hikmah Subuh; tulis dan gantunglah di atas dinding
9. Bantulah dengan 3 buah bel pengingat(jam weker; telpon; bel pintu)
10. Ajaklah orang lain untuk shalat Subuh dan mulailah dari keluarga
Jika Anda telah bersiap meninggalkan shalat Subuh, hati-hatilah bila Anda berada dalam golongan orang-orang yang tidak disukai Allah untuk pergi shalat. Anda akan ditimpa kemalasan, turun keimanan, lemah dan terus berdiam diri.
Disarikan dari :
Buku “MISTERI SHALAT SUBUH”
Menyingkap 1001 Hikmah Shalat Subuh Bagi Para Pribadi dan Masyarakat
Pengarang : DR. Raghib As-Sirjani
Penerbit : Aqwam
Sumber: mudji.net/press/?p=108
September 01, 2010
Tentang Lailat Al-Qadar
Berbicara tentang Lailat Al-Qadar (Lailatul Qadar, malam kemuliaan) mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar.Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf, ditempatkan sesudah surat Iqra’. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra’. Bahkan sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi saw berhijrah ke Madinah.
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surat Iqra’ Nabi saw (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran “lebih baik dari seribu bulan.”
Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran bahwa, “Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan.”
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS Al-Dukhan [44]: 3-5).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]: 1).
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada lailatul qadar (malam kemuliaan). (QS Al-Qadr [97]: 1).
Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya “pertanyaan” dalam bentuk pengagungan, yaitu:
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq [86]: 2)Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad [90]: 12)Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia.Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat.
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura [42]: 17)Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS ‘Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
Secara gamblang Al-Quran –demikian pula As-Sunnah– menyatakan bahwa Nabi saw tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula mengetahui tentang perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau oleh Nabi saw sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perbedaan kedua kalimat tersebut.
Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, karena disanalah kita dapat memperoleh informasinya.Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khithah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad saw, guna mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
2. Kemuliaan.
Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat Al-An’am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik:
Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat.(QS. Al-An’am (6): 91)
3. Sempit.
Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr (97):4)
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara lain dalam surat Al-Ra’d (13): 26:
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya). (QS. Al-Ra’d (13): 26)
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu.
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah bersabda bahwa malam qadar sudah tidak akan datang lagi.
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan Rasululllah saw menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
Apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut Quraish Shihab keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya.
Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul saw menganjurkan sekaligus mempraktekkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
Syaikh Muhammad ‘Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. ‘Abduh memberi ilustrasi berikut ini.Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak, kata ‘Abduh, penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Turunnya malaikat pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar, tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi saw menganjurkan sambil mengamalkan i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i’tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa. Tentu saja setiap bacaan tersebut seharusnya juga dimengerti/difahami artinya/maknanya.
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara lain adalah melakukan i’tikaf.
Walaupun i’tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja, bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walau sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci, namun Nabi saw selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi saw.Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab, sebagai berikut : “Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar”.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: “Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas … “.
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.
Sumber : http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=&dfi=&dfq=&u2=&ui=1&nba=32
Subscribe to:
Posts (Atom)