September 13, 2010
Pesona Jakarta dan "Laron-laron"
Secercah cahaya dalam kegelapan
dian menyala dan membagi terang
laron-laron terpesona datang menghampiri
namun hangus dalam nyala api dia yang panas membara oh oh wo woh….
namun dian tetap indah dan menyala megah
beribu laron datang lagi dan kembali musnah
tiada sadar bahaya dibalik keindahan berselubung berjuta kehangatan dan kenikmatan dunia wo hoo wo ho… wo wo wo ho….
reff :
apakah engkau juga laron yang terpedaya apakah engkau ingin jadi laron tertipu
laron-laron desa berduyun-duyun ke kota
menuju gemerlap lampu-lampu yang indah
dengan harapan dan impian tentang nirwana namun apa yang ditemui hanyalah sejuta kecewa
Lagu “Laron-laron” di atas adalah milik salah satu band terbesar tanah air yaitu Makara yang dirilis lebih dari dua dekade lalu. Lagu itu sangat pas menggambarkan fenomena urbanisasi yang terjadi di ibu kota. Barangkali lagu itu juga dimaksudkan sebagai kritik kepada para penyelenggara negara dari kelompok musik progressive rock itu melihat ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia saat itu sehingga banyak orang, termasuk penulis sendiri, dan juga sebagian Anda hehehehe, memilih tinggal dan bekerja di Jakarta.
Dua puluh tahun lebih kemudian, lagu tersebut ternyata masih sangat relevan dengan fenomena yang ada yaitu Jakarta yang semakin sesak. Biasanya, fenomena arus urbanisasi terjadi saat seusai mudik lebaran dimana para pemudik membawa para sanak dan handai taulan mereka untuk mengadu peruntungan di Jakarta. Jadi tak heran bila Jakarta yang biasanya lebih lengang di hari-hari lebaran, kini sepertinya nyaris tidak berubah sama sekali dimana kemacetan masih terjadi dimana-mana. Kalau sudah begitu, Anda bisa bayangkan bagaimana beban Jakarta selanjutnya seiring dengan arus balik para pemudik yang membawa serta para kerabat dan handai taulan mereka ke kota yang telah berusia lebih dari 450 tahun ini.
Mengapa Jakarta menjadi magnet?
Terdapat banyak alasan tentunya mengapa Jakarta menjadi pilihan. Bagi penulis pribadi, yang memang kebetulan telah lama menetap dan tinggal di Jakarta dimana diboyong oleh orang tua saat memasuki usia sekolah SMP yang tentunya telah memiliki ikatan emosional yang kuat dengan salah satu kota terpolusi terbesar di dunia ini. Sehingga, hal demikian juga menjadi suatu alasan dari penulis sendiri untuk tetap menyukai tinggal di kota ini walaupun dalam beberapa tahun belakangan ini penulis mulai mengeluhkan minimnya waktu untuk dapat menikmati diri sendiri dan bersosialisasi akibat kemacetan akut yang setiap hari ditemui.
Kemacetan itu tidak saja membuat jenuh tetapi juga telah menyebabkan menurunnya produktivitas penulis dengan kegiatan-kegiatannya. Tetapi, barangkali sama dengan Anda, mempertimbangkan untuk tinggal di kota lain? rasanya ada perasaan berat juga ya? Itu alasan dari penulis, lalu bagaimana dengan Anda dan juga para pendatang baru yang memilih mencoba peruntungannya di Jakarta ini? Lalu, apakah hubungan tulisan ini dengan lagu Makara di atas? Bagi penulis, lagu itu sekedar “reminder” saja bagi siapapun yang ingin datang ke Jakarta dan barangkali senafas juga dengan Makara yang hendak menyampaikan, bahwa pemerataan pembangunan memang belum terjadi di Indonesia tercinta ini. Pemerataan dimaksud bukan hanya masalah pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan dari berbagai dimensi lainnya. Sebab, berkaca dari pengalaman penulis saat ditempatkan di salah satu kota lainnya oleh perusahaan dimana dahulu penulis bekerja, ada “atmosfir” yang sangat berbeda memang. Intinya, memang pada pemerataan di segala bidang.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment