January 09, 2011

First Thing First in Writing



Oleh: Donny Anggoro

Sesungguhnya tatkala almarhum Paus Sastra H.B Jassin pernah berkata bahwa salah satu resep atawa formula menulis yang baik itu tak lain hanyalah menulis apa yang kita ketahui, tak banyak juga di zaman kini yang melakukannya. Biasanya hal ini terjadi pada penulis-penulis pemula atau yang sedang merintis sehingga banyak karya-karya yang sebetulnya bisa dibuat lebih bagus malah hancur oleh “ulah” sendiri.

Sebagai penulis juga pernah sebagai editor sastra dan bahasa saya sering menjumpai masalah ini di berbagai kesempatan. Jika hal ini terjadi pada penulis pemula, saya masih bisa mengerti. Tetapi saya sulit memaklumi lagi kalau hal ini terjadi pada banyak penulis, bahkan yang punya gelar mentereng di universitas terkemuka. Sialnya, (dan sepertinya hidup di Indonesia sepertinya selalu sial) hal ini juga terjadi bukan pada penulis saja melainkan merambah juga kepada para pembicara di even diskusi maupun di televisi serta radio. Banyak istilah-istilah asing sering diucapkan oleh para pengamat politik, ekonomi, pejabat, dan wakil rakyat di berbagai media yang alih-alih malah membingungkan. Hal ini kedengarannya malah meragukan apakah ia sungguh-sungguh mengerti masalah yang sedang dibicarakannya atau hanya sekedar pamer istilah asing yang membuat pemirsa menjadi sebal.

Nasihat orang-orang tua zaman dahulu mungkin terdengar kuno tapi nasihat H.B Jassin bagi saya rasa-rasanya masih relevan jika diterapkan di zaman sekarang bukan hanya oleh kaum penulis saja tapi juga kepada orang-orang yang sudah diakui kapasitasnya sebagai ahli atau pengamat yang sering dipanggil menanggapi pelbagai masalah aktual yang terjadi di negeri ini. Akan tetapi tulisan pendek ini supaya tidak melebar tentunya akan saya fokuskan kepada masalah yang terjadi pada dunia penulisan saja.

Mengenai istilah-istilah asing yang njelimet dan sok keren yang diucapkan para pengamat dan pejabat (juga para wartawan terutama di media televisi) baiknya saya singgung sebagai muasal mengapa bisa terjadi karena disebabkan dari awal ketika mungkin ide-ide itu hendak disampaikan disebabkan dari penggagasnya sendiri yang ketika sedang menulis tidak jujur sehingga jadinya ia tidak menulis apa yang (sungguh-sungguh) ia ketahui.

Pernah saya ketika ditugaskan menyunting sebuah penerbitan berkala dari sebuah lembaga bergengsi menemukan banyak istilah asing yang membingungkan juga terlalu banyak catatan kaki yang bukannya memberikan informasi sumber bacaan, melainkan terlihat sekali bahwa penulisnya seperti sedang “pamer bacaan” buku-buku asing yang dikutipnya untuk sebuah tulisan.

Terlalu banyaknya kutipan sering saya temui pada bacaan-bacaan filsafat dan agama juga budaya (tapi kepada tulisan esai filsafat yang lebih sering terjadi) sehingga membuat kita menjadi dengan mudah mengatakan bahwa ia kurang percaya diri sehingga tidak berani mengungkapkan pemikirannya sendiri.

Saya heran dan mengelus dada kenapa hal ini bisa terjadi pada orang-orang yang seharusnya berpredikat “hebat”: lulusan atau sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi ternama. Bahkan S2 segala. Tapi belakangan toh saya jadi mafhum ketika pernah mengikuti kuliah Mudji Sutrisno, ia sendiri berujar perlunya diajari pelajaran menulis (lagi) kepada mahasiswa-mahasiswa yang sedang mengikuti program S2 di kampusnya STF Driyarkara. “Kebanyakan dari mereka tidak bisa menulis dengan baik,” begitu alasan yang diucapkan romo berambut gondrong itu.

Kalau budayawan Mudji Sutrisno saja gusar sehingga menerapkan perlunya pelajaran menulis bagi para mahasiswanya yang seharusnya ditinjau dari strata program pendidikannya seharusnya lebih dari S1, bagaimana dengan para pembaca kita yang telanjur “eneg” membaca tulisan yang jadinya tak hanya menggurui bahkan terkesan “sok”? Tentunya kita juga gusar dan bagi orang awam mungkin rasanya jadi terlihat “agung” memamerkan bacaan tinggi yang hanya dijumpai rak-rak perpustakaan lembaga atau kampus tertentu yang aksesnya tak bisa disentuh orang kebanyakan.

“Menulis apa yang kamu ketahui” rasa-rasanya mungkin menjadi janggal bagi penulis dari “kategori” yang saya keluhkan itu. Mungkin jadinya terasa kurang afdol. Tapi juga mencemaskan karena yang diketahui barangkali mungkin hanya sedikit dengan hanya mengutip pemikiran si anu yang hasilnya malah keminter. Padahal hal ini bisa kita hindari dengan “hanya” banyak membaca saja tulisan-tulisan budaya atau filsafat yang sesekali muncul di media massa. Dalam hal ini kita patut berterimakasih kepada para redaktur dan kebijakan redaksi surat kabar (on-line juga termasuk) yang memuat tulisan begitu di medianya sehingga kita bisa dengan sederhana mempelajarinya.

Kaidah-kaidah yang menganut gaya kepenulisan populer mungkin yang harus diikuti para penulis itu dengan banyak membaca tulisan senada yang dimuat di media massa. Sehingga apa yang mrucut lalu ditulis bukan kutipan-kutipan, alih-alih bikin istilah asing yang menyebalkan. Karena tak mungkin memuat catatan kaki seabreg-abreg sehingga membuat para penulisnya dengan sadar harus menyingkat sesuatu sampai demikian padat hingga muncul pikiran “asli” sang penulis.

Barangkali kutipan satu atau dua tak menjadi masalah tapi saya pernah menemui baru pada alinea pertama sudah ada catatan kaki. Anehnya lagi, ketika saya ditugaskan menyunting tulisan tersebut untuk embrio sebuah jurnal yang sedang dipersiapkan terbit catatan kaki itu malah disetujui oleh pemilik modal dengan alasan “Ini kan jurnal?”

O, jadi mentang-mentang jurnal yang aturannya “lebih longgar” (atau sebenarnya lebih ketat karena memfokuskan diri pada satu masalah dengan lebih mendalam) daripada artikel di media massa seperti koran bisa seenaknya “pamer bacaan”? Eh, kawan si pemilik modal ganti berkilah, ”penulisnya S2, lulusan luar negeri!”. Padahal budayawan Mudji Sutrisno saja di kampus sudah gusar dengan tulisan mahasiswa S2 yang menurutnya masih perlu banyak belajar menulis lagi.

Alamak.

Saran saya untuk mengembalikan lagi tulisan itu untuk ditulis ulang dan direvisi ditolak mentah-mentah dengan alasan deadline yang sudah dekat. Padahal jika mau ditelisik lebih lanjut ada sebuah jurnal ilmiah yang cukup baik (dan alhamdulilah masih terbit sampai 16 tahun!) tulisan-tulisannya tak banyak mencantumkan catatan kaki!

Selain catatan kaki istilah asing bertaburan di mana-mana yang diperoleh dari “hanya” meng-Inggris-kan tulisan bahasa Indonesia. Pernah dengar istilah “cultural focus”? Juga ada kata ”followers” yang kelihatan sekali dicomot dengan meng-Inggris-kan bahasa Indonesia dari “pengikut”?

Kalau tak ingat saya hanya pekerja di situ mungkin sudah saya buang saja tulisan itu ke keranjang sampah apalagi setelah diselidiki konon sang penulis yang kini juga pendeta itu memang semenjak maih menulis skripsi gemar mencantumkan catatan kaki begitu banyak sehingga menurut penuturan salah seorang kawannya di kampus tulisan atau skripsinya yang tebal itu kurang mencerminkan ide-ide penulisannya sendiri. Lantas bagaimana dia bisa lulus, tanya saya. Itu karena dia pintar ngomong, kata kawan itu. Ah. Lagi-lagi urusan “lobby-lobby” yang cenderung menempatkan riset sebagai paria!

“Menulis apa yang kamu ketahui” mungkin terdengar sepele tapi ini penting. Resep ini menurut saya tentunya mujarab bagi penulis jenis tulisan apapun, bukan hanya sastrawan saja. Sastrawan Hudan Hidayat secara tidak langsung dalam sebuah even diskusi juga pernah menekankan hal ini kepada pendengarnya. Hudan memang tidak menyerukan “menulis apa yang kamu ketahui” (walau kurang lebih semangatnya sama dengan H.B Jassin). Hudan menekankan perlunya keluar gagasan asli dari penulis tanpa harus bawa banyak-banyak catatan kaki dan aneka macam kutipan. Artikel ilmiah, features, atau artikel populer tentunya akan lebih bermanfaat dengan gaya yang mengalir bahkan kalau perlu seperti orang bercerita saja. Bahkan saking indahnya sebuah tulisan artikel sampai-sampai untuk mengejar “craft” atau keahlian pembuatnya mengadopsi gaya menulis sastra sehingga dikenal istilah “jurnalisme sastrawi”. Bukankah sebenarnya dengan “meniru” orang bercerita pada praktiknya saja kita tak perlu berindah-indah dengan istilah mentereng karena yang terpenting pesannya sampai dan pembaca mengerti?

Saya pikir gelar mentereng dan lulusan luar negeri seperti alasan kawan saya itu bukan hal yang bijaksana meloloskan tulisan dengan begitu banyak centang perenang yang keminter dan istilah asing yang dibuat-buat seolah-olah ia lebih pintar dari pembaca. Gelar mentereng sebagai alasan sama halnya kita lebih menghargai orang karena “pakaiannya lebih bagus dari orang lain”. Pendek kata, lebih menghargai kulit ketimbang isi. Atau lebih menghargai dari penampilan yang mentereng, hebat dan berwibawa. Lebih menghargai orang naik BMW daripada orang yang naik bus atau bajaj.

Alamak.

Bukankah di sini apapun bisa terjadi? Gelar mentereng dan “seolah-olah” lulusan luar negeri bisa dibeli. Ingat kasus pejabat dengan ijazah “aspal” bertahun-tahun silam? Ingat kasus lembaga-lembaga pendidikan Indonesia yang akhirnya ditutup karena seolah-olah berafiliasi dari universitas luar negeri dengan menjual ijazah yang harganya konon sampai 10 juta rupiah?

Kembali ke laptop….eh….salah. kembali ke jurnal.

Alih-alih menggurui jurnal tersebut konon kabarnya batal terbit. Meski saya seharusnya dapat sesuatu berupa honor dari menyunting tulisan macam begitu saya lalu bersyukur akhirnya tidak jadi terbit karena ada sesuatu yang terjadi sehingga kepandiran tak lagi merajalela!

No comments:

Post a Comment