January 01, 2011

Sutan Takdir Alisjahbana




Nama :

Sutan Takdir Alisjahbana

Lahir :

Natal,Tapanuli Selatan,

11 Februari 1908

Wafat :

17 Juli 1995

Pendidikan :

Rechtshogeschool dan Letterkundige

Fakulteit, Jakarta (1942)

Karya Novel :

‘Tak Putus di Rundung Malang (1929)

Dian yang Tak Kunjung Padam (1932)

Layar Terkembang (1937)

Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941)

Tebaran Mega (1955)

Grotta Azzurra (1970)

Kalah dan Menang (1980)

Perempuan di Persimpangan Zaman



“Satu bumi, satu umat manusia, satu nasib, satu masa depan. Sekarang ini, semua kebudayaan dunia adalah kebudayaan saya”



Sulit berbicara tentang sejarah sastra Indonesia modern tampa menyebutkan nama Sutan Takdir Alisjahbana. Ia bukan hanya pendiri Angkata Poedjangga Baru. Ia menjadi salah satu peletak dasar peradaban bangsa dengan menjadikan bahasa Indoneisa sebagai bahasa modern. Lewat Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia yang ditulisnya, Takdir adalah guru pelajaran bahasa Indonesia di setiap sekolah. Dalam komisi Bahasa Indonesia, Organisasi buatan Jepang, Takdir berhasil menghimpun 400 ribu istilah dalam bahasa Indonesia. Takdir mengaku orang campuran. Ayahnya berdarah Jawa, yaitu Raden Alisjahbana gelar sultan Arbi. Gelar raden itu suatu kelak diakui kesultanan Yogyakarta. Malah, ia pernah disuruh mengamat-amati aktivitas Sentot Alibasjah (pengikut pangeran Diponegoro) yang dibuang di Bengkulu.



Takdir sudah menulis sejak berusia 17 tahun. Ketika masih tinggal di Muara Enim, ia mengarang surat-surat Tani dalam bahasa Belanda. Sempat berkecimpung di dalam dunia pendidikan, Takdir akhirnya memilih terjun di dunia tulis –menulis. Ketika Adinegoro, redaktur Panji Poestaka, pindah ke Medan, posisinya digantikan Takdir. Saat itu ia mulai merintis Gerakan Sastra Baroe tahun 1933, dengan melibatkan para intelektual zaman itu,seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Sekitar 20 orang intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjangga baru, diantaranya Prof. Husein Djajaningrat, Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan Poerwadarminta.



Poedjangga baru diterbitkan pertaman kali oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang berkebangsaan Belanda. Perjalanan Takdir dalam dunia sastra menghasilkan suatu kesimpulan yang akan terus menjadi visi perjuangannya. Baginya, sastra yang bertanggungjawab adalah yang bisa menjadi kebangkitan dunia baru. Tidak eksklusif dalam individualisme atau sekedar mencurahkan perasaan yang egois, tanpa kepedulian terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat. Modernitas yang dilandasi rasionalitas adalah kunci pemikiran Takdir. Konsep inilah yang ia pertahankan sejak Polemik Kebudayaan di era 30-an.



Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan seni). Yang pertama berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi, tulis Takdir di tahun 1986. Bagi Takdir, kebudayaan adalah totalitas ilmu, teknologi, dan agama. Ia pendiri Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK) serta Universitas Nasional, ia sempat lama jadi rektor. Ia tak pernah letih menganjurkan penerjemahan karya-karya asing secara besar-besaran. Lihat Jepang, mereka sampai menerjemahkan ensiklopedi, katanya.



Takdir sempat melontarkan kekecewaan tentang pendidikan dan perkembangan bahasa Indonesia, karena, bahasa yang pernah menggetarkan dunia linguistik ini, dengan kesanggupannnya mempersatukan 13 ribu pulau, masih terbelakang. Belum menjadi bahasa modern, bahasa dunia, yang di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi



(100 tokoh yang mengubah Indonesia)

Sumber:
www.tamanismailmarzuki.com

No comments:

Post a Comment