December 28, 2010

Kebijakan Transportasi Publik Ibu Kota...Quo Vadiz?



Setiap kali akan melewati jalan Palmerah di perempatan Slipi, setiap kali pula hati selalu dongkol membayangkan betapa semrawut dan macetnya ujung jalan menuju pasar Palmerah gara-gara sekumpulan mikrolet yang kerap bercokol di sana. Selalu saja begitu. Dari waktu ke waktu tidak ada perubahan. Lebih mengherankan lagi, ada pak polisi yang kerap hadir di sana. Pernah suatu ketika, seorang aparat militer sampai turun dan menembakkan pelurunya ke udara mungkin karena sedemikian kesalnya dan terburu-buru.

Itu baru kawasan Palmerah, lalu bagaimana dengan kawasan-kawasan lainnya yang menjadi titik-titik pemberhentian atau istilahnya “ngetem” lainnya di ibu kota seperti di Lenteng Agung, Cilandak, Lebak Bulus dan lain sebagainya?

Berbicara mengenai mikrolet dan juga moda angkutan bis kota di ibu kota seakan tidak ada habisnya. Barangkali kalau pemerintah daerah DKI benar-benar serius mengatur kebijakan transportasi publik di ibu kota dengan menyediakan jasa layanan transportasi yang aman, nyaman dan ramah bagi warganya barangkali banyak warga tidak akan sampai membeli kendaraan sehingga semakin membuat Jakarta bertambah macet dari tahun ke tahun. Tetapi apa memang demikian? karena mungkin ada juga kepentingan bisnis di balik ‘pembiaran’ itu semua.

Bagi industri otomotif jelas, bahwa hal demikian merupakan peluang bagi mereka untuk semakin ekspansif menjual produk-produk mereka. Sementara, bagi pihak pengusaha kendaraan umum, kebijakan untuk menggusur usaha mereka tentu akan ditentang habis, demikian juga mereka yang hidup dari usaha itu seperti supir, kenek, timer, ‘preman’ seperti para oknum polisi di jalan Palmerah itu, dan para penjual onderdil serta banyak sektor ikutan lainnya.

Beberapa tahun yang lalu, saat Sutiyoso mencanangkan dan telah mengoperasikan layanan bus TransJakarta atau akrab disebut dengan Bus Way yang diadopsi dari negara Kolumbia, sebagian masyarakat pengguna jasa transportasi umum banyak berharap akan terjadi perubahan dan sedikit banyak akan mengatasi beberapa titik kemacetan yang disebabkan oleh transportasi umum di ibu kota. Namun, hampir tujuh tahun berjalan, karena seingat saya, Bus Way pertama kali resmi diluncurkan pada tanggal 15 Januari 2004 silam, sepertinya hanya menjadi harapan semata. Perubahan tidak terjadi malah, kebijakan itu seperti terlihat semakin memperaparah keadaan saja. Lihat saja suasana jalanan di sepanjang jalan Warung Buncit sekarang! :(

Lebih celaka lagi, banyak sarana Bus way yang tidak jelas kapan akan digunakan. Banyak diantaranya yang telah rusak seperti yang terlihat di sepanjang jalan MT. Haryono, Gatot Subroto, S. Parman, Ahmad Yani dan lain-lainnya. Demikian juga dengan rencana pembangunan monorail dimana tiang-tiangnya telah telanjur mengganggu keindahan di sepanjang jalan Rasuna Said dan Asia-Afrika.

Pertanyaan mendesak sekarang perlu kita pertanyakan kepada pengelola ibu kota, khususnya sektor transportasi umum, kapan? serius gak sih?

No comments:

Post a Comment