December 29, 2010
Syukur dan Qana'ah
Syukur adalah salah satu sifat yang merupakan hasil refleksi dari sikap tawakal. Secara bahasa, syukur mengandung arti “sesuatu yang menunjukan kebaikan dan penyebarannya”. Sedangkan secara syar’i, pengertian syukur adalah “memberikan pujian kepada yang memberikan segala bentuk kenikmatan (Allah swt) dengan cara melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, dalam pengertian tunduk dan berserah diri hanya kepada-Nya”
Sedangkan Qana’ah menurut arti bahasanya adalah merasa cukup. Dan secara istilah qana’ah merasa cukup atas apa yang dimilikinya. Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT.
Keutamaan bersyukur
Dengan tegas dan jelas, banyak sekali ayat Al Quran yang menjanjikan keutamaan bagi orang yang bersyukur.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qhashas [27] : 77)
Ayat tersebut di atas dengan tegas memerintahkan agar umat Islam berusaha meraih kebahagiaan hidup di akhirat. Adapun meraih kebahagiaan hidup di dunia bukanlah yang utama, tetapi tetap harus dilakukan dan jangan dilupakan. Umat Islam tidak dilarang menjadi orang yang kaya, dan bahkan dianjurkan mencari harta yang banyak untuk kemudian dipergunakan sebagai alat untuk berdakwah. Sebagaimana istri Nabi, Siti Khadijah, dan para sahabat lainnya yang merupakan saudagar kaya, mereka mempergunakan harta mereka demi kepentingan dakwah Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw.
Namun, untuk menjadi kaya raya memang juga bukan perkara yang mudah. Dibutuhkan keuletan, kegigihan, kecerdasan, dan keberanian dalam menggali rezeki Allah swt. Setiap manusia diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk meraup rezeki Allah sebanyak-banyaknya. Tak peduli orang Islam atau bukan, Allah akan memberikan kekayaan kepada siapa saja yang berbuat dan berusaha. Masalahnya, kita seringkali tidak maksimal dalam melakukan sesuatu sehingga kita pun tidak mendapatkan hasil yang maksimal pula, atau bahkan gagal sama sekali. Nah, saat menghadapi kegagalan itulah sering kita merasa bahwa usaha kita sudah maksimal sehingga pada akhirnya kita pun menyalahkan takdir.
Menyalahkan takdir adalah sesuatu yang salah. Allah swt. memberikan jalan yang luas bagi manusia untuk berbuat. Dan kalaupun hasilnya tidak maksimal, sebenarnya Allah tetap memberikan sesuatu bagi manusia, yaitu hikmah dan pelajaran.
“Today I can feel sad that I have no more money or I can be glad that the condition encourages me to plan my purchases wisely and guide me away from waste”. Hari ini aku bisa bersedih karena tidak lagi memiliki uang atau aku bisa senang bahwa kondisi itu mendorongku untuk merencanakan belanjaku secara bijak dan membimbingku agar tidak bersikap boros.
Dalam segala macam bentuk situasi dan kondisi, baik kelapangan atau kesusahan, yang dihadapi manusia, pasti ada hikmah yang bisa dipetik di dalamnya. Sebagaimana kutipan perkataan orang-orang bijak tersebut di atas, saat tidak memiliki uang pun sebenarnya kita justru bisa menggembleng diri sendiri agar bisa lebih bijak dalam mengatur pengeluaran dan agar tidak bersikap boros. Sikap seperti itu merupakan salah satu bentuk syukur manusia kepada Allah swt. atas kondisi yang ada. Ingat, segala macam situasi dan kondisi mengandung hikmah, dan oleh karenanya patut untuk disyukuri.
Mensyukuri segala yang diberikan Allah swt. adalah sesuatu yang bukan tanpa alasan. Dengan tegas dan jelas, banyak sekali ayat Al Quran yang menjanjikan keutamaan bagi orang yang bersyukur. Firman-Nya, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim [14] : 7).
Orang yang bersyukur diberikan keutamaan yang tinggi di sisi Allah karena memang sangat sedikit sekali manusia yang mau bersyukur. “…Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Q.S. Al Baqarah [2] : 243)
Kaitan antara Syukur dan Qanaah
Qana’ah mempunyai ikatan erat dengan syukur. Keduanya, seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin berpisah. Syukur membuahkan qana’ah. Dan qana’ah memunculkan syukur. Seperti itu korelasinya. Tidak ada qana’ah tanpa syukur. Tidak ada syukur tanpa qana’ah. Syukur tanda kita menikmati keadaan yang mungkin kurang. Qana’ah buah kesyukuran yang membuat kita tenang. Batin yang tenang karena menerima keadaan, kondisi hati yang stabil karena tidak dibenturkan harapan yang tidak tercapai, keadaan jiwa yang menyenangkan karena tidak mengeluh dan menggugat keadaan yang tidak sesuai keinginan. Itulah keberkahan yang Allah berikan.
Syukur dan Qana’ah adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qana’ah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan.
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Ibrahim bin Adham, seorang sufi dari Khurasan berkata dalam do’anya “Ya Allah, jadikan aku orang yang ridha dengan keputusan-Mu. Jadikan aku orang yang sabar menghadapi cobaan dari-Mu dan karuniailah aku rasa syukur atas berkah-Mu”.
Ridha, sabar dan syukur merupakan tiga unsur sifat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tiga unsur sifat inilah yang membuat seorang mukmin menjadi qana’ah, yaitu selalu merasa cukup atas semua pemberian-Nya.
Dari ketiga sifat tersebut, ridha merupakan unsur yang paling penting dalam pembentukan sifat qanaah. Karena orang yang sudah merasa ridha terhadap sesuatu, otomatis dia akan bersabar menghadapi sesuatu yang terjadi pada dirinya, baik manis maupun pahit. Apabila sifat ridha dan sabar sudah tertanam kuat dalam diri seseorang, niscaya itu akan mengangkatnya pada tingkat syukur dan lalu lahirlah sifat qana’ah.
Wallahu a’lam.
Narasumber :
Iis Sumiati (Disampaikan pada KOL Jum'at, 31 Juli 2009)
http://kotasantri.multiply.com/journal/item/112
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment