January 22, 2010
Paradoksnya Kita
Menyaksikan dan mendengar berbagai kegiatan kampanye yang dilakukan para peserta PEMILU tahun lalu sungguh menarik walaupun kadang-kadang membuat kita tersenyum miris. Para kontestan tentu berupaya semaksimal mungkin untuk meraih simpati rakyat yang akan memilih mereka. Sederhananya, mereka berjualan dan jualan mereka adalah partai berikut visi dan misi mereka. Sebagai calon legislatif (caleg) hingga calon presiden (capres). Yang namanya jualan, para penjual selalu mengklaim bahwa produk mereka adalah yang terbaik atau nomor satu. Mereka kadang-kadang tampil secara jor-joran demi pencitraan diri/partai sebagai yang terbaik.
Sebagian para calon tadi tidak segan-segan menghabiskan dana yang sangat besar yang sumbernya kita tidak tahu. Sebagian kontestan ada yang berkampanye menggunakan moda transportasi pesawat dengan layanan super mewah. Itu demi sebuah status dan ‘kewibawaan”. Berbicara mengenai kewibawaan, Saya pribadi menilai hal ini masih merupakan sebagai salah satu paradok dari sekian banyak macam paradok yang ada di negeri tercinta kita ini.
Kita membenci pelaku korupsi tetapi kita tidak menghargai para pegawai pemerintah yang jujur sehingga anggota kelurganya hanya naik bis kalau bepergian. Kita mencela barang-barang yang mereka miliki yang menurut kita sudah ketinggalan zaman seperti telepon seluler yang mereka punya dan lain sebagainya. Kita mungkin juga heran dan malah mengatakan betapa tololnya mereka itu. Punya posisi kok hidup cuma seperti itu. Mereka jujur, tidak korupsi tetapi kita malah mencela mereka. Sebaliknya, bila kita mendapati para pelayan publik yang hidupnya makmur, kita langsung menghakimi mereka telah berbuat tidak jujur dengan jabatan yang mereka pegang. Padahal, bisa saja mereka sebenarnya adalah para pelayan publik yang amanah dan jujur tetapi mungkin mereka memiliki usaha sampingan yang bersih dan halal. Mereka kreatif. Mereka menggunakan waktu mereka dengan sangat baik.
Nah, adakalanya kita begitu menyanjung seseorang atau keluarganya karena kedermawanan mereka padahal kita tahu bahwa harta mereka bukan berasal dari perilaku jujur. Seorang guru yang santun, jujur tetapi bersahaja tidak dihargai oleh para muridnya yang terdiri dari putra-putri orang-orang kaya. Tetapi bila yang mengajar adalah orang yang berasal dari kalangan “the have” juga, maka si guru mendapatkan “wibawa”nya. Maka, tidaklah mengherankan bila fenomena ini marak dimana-mana. Celakanya lagi, hingga seorang ustad atau pendeta pun dilihat dari apa yang dia punya, bukan dari apa yang dia katakan.
Dengan memiliki materi maka seseorang baru dapat menjadi “siapa”. Maka kalau Anda hanyalah seorang ustadz kampung dan Anda tidak bermateri , jangan harap Anda dapat memberikan pencerahan di sebuah mesjid mewah di sebuah kawasan mewah seperti di Jakarta ini. Anda tidak memiliki nilai jual. Suka atau tidak suka, kita harus mengakui keadaan seperti ini. Saya pun kadang-kadang juga berpikiran demikian. Saya diam-diam juga mengalami sindrom paradoks ini. He..he..he..ternyata…Podo wae :)) !!! (nfr)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment